REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik Universitas Gunadarma Toto Sugiharto menuturkan, menghilangnya Setya Novanto memperlihatkan adanya upaya lain. Yakni upaya menghindar dari proses hukum dan terlihat sebagai contoh pejabat yang tidak menghormati hukum, ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id.
Menurut Toto, langkah Novanto tersebut seharusnya tidak hanya memalukan bagi diri sendiri. Melainkan juga untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang menaungi Novanto. Tapi demikian, tampaknya rasa malu tersebut sudah tidak ada lagi pada mereka.
Perkembangan ini, tambah Toto, dapat dilihat sebagai contoh brutalnya politikus melawan hukum. Pelajaran dari kasus ini, bangsa ini tampaknya masih jauh dibanding Jepang, Inggris dan bangsa lain yang politisnya beradab, ucapnya.
Novanto diketahui menghilang saat penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hendak ke kediamannya di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan, Rabu (15/11). Sampai Kamis (16/11) malam, Novanto tidak menampakkan diri di kantor KPK hingga informasi kecelakaan muncul.
Toto menjelaskan, peristiwa ini merupakan sejarah baru di Indonesia. Untuk tingkat praperadilan sudah pernah terjadi, namun pengajuan praperadilan dibarengi menghilangnya tersangka dan tersangka tersebut adalah ketua DPR, belum pernah terjadi, ucapnya.
Mencermati peristiwa ini, Toto menjelaskan, seharusnya Novanto bisa datang saja ke KPK. Ia cukup mengikuti proses hukum. Selain mengikuti aturan yang ada, tindakan tersebut harusnya dilakukan demi kehormatan Novanto sendiri dan DPR.