Jumat 17 Nov 2017 07:35 WIB

Lamakera: Pusat Peradaban Muslim dari Kepulauan Solor

Kampung Lamaholot  Lamakera, Nusa Tenggara Timur.,
Foto: MHR Shikka Songge
Kampung Lamaholot Lamakera, Nusa Tenggara Timur.,

Oleh: MHR Shikka Songge*

Pemikiran untuk menjadikan Lamakera sebagai "Epicentrum Politik di Kawasan Lamaholot Kepulauan Solor", menarik untuk mendapat perhatian oleh para intelektual pemerhati Lamakera. Gagasan ini bukanlah sebuah impian di ruang kosong, melainkan bila ditelusuri secara historis maupun sosiologis akan kita temukan sejumlah anatomi pembenaran, bahwa

Kampung nelayan Lamakera yang ada di pesisir pulau Alor ini memiliki kekuatan idealisme sejarah yang kuat untuk menjadi epicentrum politik Lamaholot (budaya masyarakat setempat).

Bahkan pada waktu lalu, sudah diperbincangkan, bahwa seiring dengan proses modernisasi pembangunan infrastructur di Lamakera saat ini, maka kamppung itu tidak saja dapat dipakai sebagai "epicentrum politik pada spektrum lamaholot" melainkan "Epicentrum bagi Kebangkitan Peradaban Islam NTT (Nusa Tenggara Timur).“ Tentu optimisme ini ingin saya konstruksikan berdasarkan perjalanan gerak kesejarahan kampung Lamakera tersebut.

Semenjak awal,  karakter dasar, sikap mental orang Lamakera adalah manusia ‘petarung’.  Mental ini, telah menjadi pola dan tata cara untuk menunjukan bahwa orang Lamakera itu ada. Dalam filsafat eksistensialme Emanuel Kant, maupun Positivisme Aguste Comte, mengajarkan bahwa eksistensi atau keberadaan seseorang itu ditandai oleh ide, kerja dan gerakan, aktifitas itulah yang menandakan seseorang itu diakui keberadaannya.

Alquran yang menjadi pedoman hidup orang Lamakera juga mengajarkan bahwa seseorang itu terkategori dalam rumusan sebagai manusia apabila orang itu memiliki niat dan ikhtiar, atau inisiatif, rencana dan gerak. Bagi orang Lamakera, kondisi alamnya serta keyakinan iman sebagai muslim telah menempanya menjadi seorang yang berwatak petarung, dalam gagasan dan gerakan.

Dan bila mengacu pada sejarah di  sana telah ditunjukan beberapa proses  bahwa orang Lamakera memiliki watak Petarung :

Pertama,  pilihan tempat yang disepakati oleh Kia Lalimari Bagawelilolo dan Juang Metti, sebelum mereka berpisah di Solor Barat menuju arah timur dalam pencarian tempat hidup untuk membangun peradaban kehidupan mereka ialah tempat itu harus dekat dengan laut hidup.

Dan sesuai dengan perspektif mereka sebagai masyarakat nelayan, maka pilihan tempat hidup di daratan yang dekat dengan laut hidup adalah tepat. Pilihan tempat yang berlaut hidup itu adalah di mana tempat yang biasa dihidupi oleh ikan ikan besar. Dan ditempat ini mereka sebagai nelayan bisa mengembangkan tradsisi mereka sebagai nelayan.

Ketika bersepakat untuk memilih lokasi tempat tinggal itu, maka sampailah para leluhur itu  di sebuah tempat yang berada di ujung Solor Bagian Timur (Kampung Lamakera sekarang). Setelah itu, kedua bersaudara dari Tanah Shikka membuat perjanjian dengan Manna Danton Amma sebagai tuan tanah.

Maka kemudian lahirlah kesepakatan antara Kialalimari baga Welilolo dan Juang Metti dengan Manna Daton Amma difihak lain, yang menghasilkan deklarasi tentang Nama Kampung Lamakera beserta batasnya wilayahnya. Maka lahirlah sebuah perkampungan berbatu dan berombak besar yang diberia nama Lamakera yang artinya ‘tempat bakul makanan’.

Selanjutnya, alam Lamakera yang berbatu, tandus, panas, dan bergelombang besar pada musim tertentu, jelas telah mempengaruhi corak hidup serta nalar sosial masyarakat yang tinggal di situ. Akibatnya, mereka harus  dealis, kritis, dan bekeja keras.

Bayangkan, kalau saja kedua orang tua penemu dan pembuat kesepakatan tentang Lamakera tersebut, memilh sebuah wilayah di tempat yang lain, misalnya  berada di Pamangkayo, Menanga, atau Gorang, maka mungkin sekali karakter orang Lamakera tidak berkarakter ‘petarung’ seperti sekarang. Dan sudah pasti warna dan aorma sejarah kita akan sangat berbeda, tidak seperti Lamakera yang kita saksikan sekarang

Kedua,  karena dinamika dan gerak sejarah politik orang Lamakera, adalah gerak sejarah yang diwarnai oleh semangat perlawanan dan anti penindasan, dan itu sudah yang dilakukan oleh para raja Lamakera ketika melawan kolonial asing Portugis dan Belanda.

Dalam catatan sejarah, kemudian bahkan ada putra terbaik Lamakera (Atu Laga Nama dan sejumlah rekan yang lain) dikirim dalam sebuah ekspedisi untuk merebut kembali harta kekayaan yang dibawa lari oleh Portugis ke tanah Timor. Yang spektakuler dalam kepemimpinan politik Lamakera ialah Raja Ibrahim Tuan Dasyi, ia sanggup mengislamkan semua kekuasaannya. Dan ia kemudian juga mampu menjaga serta menjamin keselamatan iman masyarakat yang dipimpinnya. Hasilnya, Lamakera bebas dari pengaruh misionaris Kristen dan bebas ancaman politik PKI., Tak hanya itu, pengaruh Atu Lama Laga juga berpengaruh hingga kepulauan yang berada di bawah pengaruh Lamakera.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement