REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana mempertanyakan rencana pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, menuntut KPK ke pengadilan HAM internasional atas perlakuan lembaga antirasuah itu.
"Menjadi pertanyaan pengadilan HAM internasional mana yang dimaksud oleh Fredrich Yunadi," kataHikmahanto dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Sabtu (18/11).
Ia menyebut dunia peradilan internasional tidak ada lembaga secara spesifik disebut sebagai Pengadilan HAM Internasional. Ia berujar, terdapat lembaga mirip Pengadilan HAM Internasional, yakni European Court of Human Rights (ECHR).
Namun, Hikmahanto mengatakan lembaga tersebut mempunyai lingkup kewenangan terbatas, yakni di lingkungan Uni Eropa. Pun ECHR berlaku untuk warga dari Uni Eropa.
"WNI tidak mungkin mengajukan permohonan ke ECHR," ujar Hikmahanto.
Ia mengatakan dalam lembaga peradilan internasional terdapat Mahkamah Kejahatan Internasional atau International Criminal Court (ICC). Ia menjelaskan lembaga itu melakukan proses hukum terhadap individu yang menduduki jabatan di pemerintahan yang melakukan kejahatan internasional. Indonesia menyebut kejahatan tersebut sebagai pelanggaran HAM Berat.
Hikmahanto menjabarkan kejahatan internasional tersebut terdiri atas kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang, dan perang agresi. "Empat jenis kejahatan internasional iti tidak termasuk apa yang dituduhkan oleh pengacara Setya Novanto terhadap KPK," tutur dia.
Hikmahanto mengatakan perlu diketahui, Indonesia bukan peserta dari Statua Roma yang merupakan instrumen bagi pendirian ICC. Selain itu, ia melanjutkan, terdapat sebuah Dewan di PBB yang disebut Dewan HAM PBB. Namun, ia menyebut dewan tersebut tidak berbentuk pengadilan.
Sehingga, Hikmahanto meminta pengacara Setya Novanto menjelaskanPengadilan HAM Internasional secara gamblang pada publik. "Perlu dipertanyakan apa yang dimaksud oleh Frederich Gunadi sebagai Pengadilan HAM Internasional," ujar dia.