Ahad 19 Nov 2017 05:45 WIB

Islam Beri Perubahan Wajah Peradaban di Oman

Muscat
Foto: fr.wikipedia.org
Muscat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Orang Arab dari berbagai suku memasuki Oman sejak abad pertama Masehi. Gelombang pertama datang dari barat Arab di bawah pimpinan Bani Hina, sedang gelombang kedua datang dari utara di bawah Bani Ma'awal.

Oman mengalami perubahan besar sejak orang Arab menganut Islam. Pada 630 M, utusan Nabi Muhammad SAW, Amr bin Ash, datang ke Oman untuk berdakwah. 

Ia bertemu dengan Julanda Abd dan Jaifar, mengajak mereka menerima agama baru, Islam. Ajakan ini diterima dengan persetujuan umum dari para syekh (kepala suku) Arab. 

Mereka mengutus delegasi ke Madinah untuk menemui Nabi SAW dan menyatakan keislaman mereka. Amr bin Ash yang menetap sementara di sana mendorong orang Arab Muslim agar mengajak orang Persia di Oman menerima Islam. 

Ajakan ini ditolak dan pertempuran pun terjadi. Orang Arab Muslim menang dan mengusir orang Persia. Sejak itu, Oman menjadi Arab Muslim. 

Di bawah Dinasti Ya'ribah (1624-1749) dan abad pertama dari Dinasti al-Bu Sa'id (memerintah sejak 1741), Oman secara bergantian dikuasai oleh bangsa-bangsa penjajah Portugis, Belanda, Prancis, dan Inggris. 

Di samping itu, konflik dan peperangan antaretnis selalu mewarnai kehidupan sosial dan politik Oman. Konflik berakhir setelah mereka sepakat memilih Ahmad bin Sa'id al-Bu Sa'id menjadi imam.

Kemudian konflik timbul kembali, tetapi dapat diakhiri pada 1959 dengan bantuan pasukan Inggris, dan sejak itu berakhirlah pemerintahan imam diganti dengan pemerintahan kesultanan di bawah Sultan Said bin Taimur bin Faisal bin Turki bin Sa'id, yang memerintah sejak 1932. 

Pada 1970, anaknya Qaboos melakukan kudeta tak berdarah untuk menggantikan ayahnya. Sejak itu, Sultan Qaboos mengganti nama negara itu menjadi Kesultanan Oman. 

Ia berhasil melepaskan negara itu dari keterisolasiannya dari dunia luar dengan memajukan pembangunan di berbagai sektor. 

Pemberontakan yang terjadi di Dhofar pada 1975 dapat ditumpas. Negara itu tetap mempertahankan tradisi dan budaya keislamannya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement