REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Orang Arab dari berbagai suku memasuki Oman sejak abad pertama Masehi. Gelombang pertama datang dari barat Arab di bawah pimpinan Bani Hina, sedang gelombang kedua datang dari utara di bawah Bani Ma'awal.
Oman mengalami perubahan besar sejak orang Arab menganut Islam. Pada 630 M, utusan Nabi Muhammad SAW, Amr bin Ash, datang ke Oman untuk berdakwah.
Ia bertemu dengan Julanda Abd dan Jaifar, mengajak mereka menerima agama baru, Islam. Ajakan ini diterima dengan persetujuan umum dari para syekh (kepala suku) Arab.
Mereka mengutus delegasi ke Madinah untuk menemui Nabi SAW dan menyatakan keislaman mereka. Amr bin Ash yang menetap sementara di sana mendorong orang Arab Muslim agar mengajak orang Persia di Oman menerima Islam.
Ajakan ini ditolak dan pertempuran pun terjadi. Orang Arab Muslim menang dan mengusir orang Persia. Sejak itu, Oman menjadi Arab Muslim.
Di bawah Dinasti Ya'ribah (1624-1749) dan abad pertama dari Dinasti al-Bu Sa'id (memerintah sejak 1741), Oman secara bergantian dikuasai oleh bangsa-bangsa penjajah Portugis, Belanda, Prancis, dan Inggris.
Di samping itu, konflik dan peperangan antaretnis selalu mewarnai kehidupan sosial dan politik Oman. Konflik berakhir setelah mereka sepakat memilih Ahmad bin Sa'id al-Bu Sa'id menjadi imam.
Kemudian konflik timbul kembali, tetapi dapat diakhiri pada 1959 dengan bantuan pasukan Inggris, dan sejak itu berakhirlah pemerintahan imam diganti dengan pemerintahan kesultanan di bawah Sultan Said bin Taimur bin Faisal bin Turki bin Sa'id, yang memerintah sejak 1932.
Pada 1970, anaknya Qaboos melakukan kudeta tak berdarah untuk menggantikan ayahnya. Sejak itu, Sultan Qaboos mengganti nama negara itu menjadi Kesultanan Oman.
Ia berhasil melepaskan negara itu dari keterisolasiannya dari dunia luar dengan memajukan pembangunan di berbagai sektor.
Pemberontakan yang terjadi di Dhofar pada 1975 dapat ditumpas. Negara itu tetap mempertahankan tradisi dan budaya keislamannya.