REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Provinsi Papua Charles Simaremare mengungkapkan, dalam upaya pembebasan sandera kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua, aparat tidak perlu memaksa warga sipil. Pasalnya sejumlah warga sipil yang merupakan warga asli Papua dikabarkan sempat menolak dievakuasi.
"Kalau masyarakat asli diajak tidak mau, tidak apa-apa, itu hak mereka, mungkin mereka merasa sudah nyaman tinggal disitu karena memang mereka sudah menyatu dengan alam disana," ujar Charles pada Republika.co.id, Ahad (19/11).
Sehingga, lanjut Charles, warga sipil merasa yakin di tempat tersebut lebih baik daripada penampungan evakuasi. "Di situ mungkin mereka pikir lebih baik ketimbang di penampungan yang menjadi tempat asing bagi mereka," kata dia.
Kendati demikian, ketika warga sipil menolak dievakuasi, menurut Charles, mereka juga harus menerima konsekuensinya. Meski, Charles kembali menegaskan agar Polri dan TNI tidak memaksa warga.
"Siapa pun tidak boleh memaksa, tapi seandainya mereka di ganggu kelompok bersenjata, jangan disalahkan TNI atau Polri lagi, itu baru adil," ucapnya.
Charles pun berharap, proses evakuasi dapat berjalan lancar tanpa adanya gangguan maupun kontak senjata dari KKB. Sejak Jumat (17/11) pukul 15.00 WIT, jumlah warga sipil yang berhasil dievakuasi aparat adalah 344 orang. Warga tersebut berasal dari Desa Kimbeli dengan rincian laki-laki sebanyak 104 orang, perempuan 32 orang dan anak-anak 14 orang.
Sedangkan yang dievakuasi dari sekitar longsoran terdiri dari laki-laki sebanyak 153 orang dimana hanya satu di antaranya merupakan penduduk asli. Sedangkan sisanya perempuan berjumlah 31 dan anak-anak 10 orang yang terdiri dari delapan anak papua dan dua bayi.