REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penghayat aliran kepercayaan masuk di Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan KTP menuai kontroversi di tengah masyarakat. Apalagi, setelah putusan ini mendapat penolakan dari Majelis Ulama Indonsia (MUI) dan Partai Islam.
Menaggapi hal itu, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Amin Abdullah mengatakan bahwa segala persoalan keagamaan yang ada di Indonesia harus diselesaikan menggunakan cara berpikir fikih kebangsaan, termasuk persoalan putusan Mahkamah Konatitusi mengenai pengisian aliran kepercayaan di kolom agama KTP.
Ia menuturkan, dalam realitas sosilogisnya memang masih banyak penghayat kepercayaan di Indonesia, yaitu sekitar 12 juta orang. Bahkan, jumlah lebih besar dari jumlah penduduk Singapura yang berjumlah 5,7 juta. Karena itu, menurut dia, dalam menyelesaikan persoalan ini juga harus mengedepankan sisi kemanusiaan.
"Payung kita yang lebih besar kemanusiaan. Kita itu kadang-kadang kita orang-orang beragama lupa bahwa elemen kemanusiaan itu penting, bukan hanya elemen keagaman," ujarnya kepada Republika.co.id, Senin (20/11).
Menurut dia, pihak-pihak yang menolak pada putusan MK tersebut karena hanya menggunakan elemen keagamaan, tapi melupakan elemen kemanusiaan yang lebih penting.
"Nah bagi yang agak keberataan itu karena elemennya itu hanya elemen agama, apapun agamanya. Dia melupakan elemen kemanusiaan yang lebih fundamental," ucap Mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga ini.
Alumni Pondok Pesantren Gontor ini menambahkan, pengisian aliran kepercayaan di kolom agama KTP hanyalah urusan operasional birokrasi. Namun, kata dia, yang jelas negara harus menjamin bahwa semua warganya berhak mendapatkan haknya masing-masing.
"Nah kalau itu (elemen kemnusiaan) bisa dipahami saya kira tidak masalah (KTP diisi aliran kepercayaan), itu mau kolom kayak apapun terserah aja. Tetapi administrasi kenegaraan memang harus menjamin warganya sesuai yang dia anut," katanya.