REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Kantor Lembaga Survey Stratakindo Octarina Soebardjo menyatakan ditahannya ketua umum partai Golkar Setya Novanto telah membuka babak baru percaturan politik nasional. Posisi Setya Novanto dikursi Ketum Partai Golkar pun semakin terdesak.
"Saran untuk mengganti ketua umum tanpa menunggu keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap disampaikan banyak pihak baik dari internal Golkar maupun dari pihak eksternal. Yang menjadi dasar untuk pergantian mendesak ketua umum itu adalah pertimbangan moral dan kepentingan administrasi pemilu," jelas Ocktarina, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Republika.co.id, Senin (20/11)
Menurutnya, langkah Golkar yang lambat menghadapi kasus korupsi Setya Novanto akan menggerus elektabilitasnya. Ekspresi kekesalan publik tak dapat disembunyikan dari drama politik seminggu terakhir.
Saat yang sama identifikasi Golkar dengan Novanto terlihat amat kuat sehingga apapun tindakan yang dianggap publik menghindari upaya penegakkan hukum akan berdampak pada partai. Dengan begitu semakin Novanto melawan, Golkar kian terdesak.
"Ini matematika politik dasar. Jadi, kalau Golkar lamban atau bahkan membiarkan kasus ini berlarut dengan misalnya tetap mempertahankan Novanto sampai inkracht, siap-siap saja menanggung risiko politiknya," ujarnya.
Ocktarina menambahkan, lazimnya secara politik Golkar segera mengganti ketua umumnya, memakai Plt atau sebutan lain hanya akan membuat urusan jadi ribet dalam administrasi pilkada serentak 2018 dan pemilu raya 2019.
Saat yang sama, Golkar juga sebaiknya meninjau kembali keputusannya terkait pengusungan calon kepala daerah yang diusung dalam pilkada serentak 2018.
Ocktarina mencontohkan Jawa Barat. Partai Golkar dirasa perlu meninjau keputusan mengusung Ridwan Kamil dan kembali mengusung kadernya sendiri yakni ketua DPD Golkar Jawa Barat, Dedi Mulyadi. "DM ini menyalip Demiz tanpa ampun dan semakin mendekati RK. Saat yang sama dukungan ke Golkar justru menurun, ujarnya.