REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Presiden Donald Trump menempatkan Korea Utara dalam daftar negara pendukung terorisme pada Senin. Keputusan ini memungkinkan Amerika Serikat untuk menjatuhkan lebih banyak sanksi dan berisiko menimbulkan ketegangan atas program senjata nuklir dan rudal Pyongyang.
Trump mengatakan Departemen Keuangan akan mengumumkan sanksi tambahan terhadap Korea Utara pada Selasa (21/11). Pernyataan Trump ini disampaikan sepekan setelah Trump kembali dari perjalanan ke Asia di mana program nuklir Korea Utara menjadi inti dari diskusi-diskusinya.
"Selain mengancam dunia dengan kerusakan nuklir, Korea Utara telah berulang kali mendukung tindakan terorisme internasional, termasuk pembunuhan di tanah asing," kata Trump kepada wartawan di Gedung Putih.
Trump, yang sering mengkritik kebijakan pendahulunya terhadap Pyongyang, mengatakan penunjukan Korut sebagai negara pendukung terorisme seharusnya sudah sejak lama dilakukan. Para ahli mengatakan penunjukan tersebut sebagian besar bersifat simbolis karena Korea Utara sudah mendapat sanksi berat oleh Amerika Serikat.
Menteri Luar Negeri Rex Tillerson mengakui hal ini. Ia mengatakan pernyataan Trump terkait Korut akan membantu menghalangi pihak ketiga untuk mendukung Pyongyang. "Efek praktis mungkin terbatas tapi mudah-mudahan kita menutup beberapa celah dengan ini," katanya kepada wartawan.
Amerika Serikat sebelumnya telah menunjuk tiga negara sebagai pendukung terorisme yakni Iran, Sudan, dan Suriah. Seorang pejabat intelijen AS yang mengikuti perkembangan di Korea Utara mengungkapkan kekhawatiran akan langkah Trump yang bisa menjadi bumerang, terutama mengingat dasar peruntukan tersebut dapat diperdebatkan.
Pejabat tersebut mengatakan Kim dapat merespons dengan berbagai cara, termasuk memperbarui uji coba rudal atau nuklir. Langkah Trump juga dapat melemahkan upayanya untuk meminta kerja sama yang lebih besar dengan Cina dalam menekan Korea Utara untuk menghentikan uji coba rudal nuklir dan balistiknya.
Bagaimanapun, tidak banyak yang bisa membuka jalan untuk dialog AS dengan Korea Utara, yang merupakan sekutu utama Cina. "Saya tidak melihat bagaimana ini membantu, dan ini mungkin salah perhitungan," kata juru runding utama AS selama krisis nuklir Korea Utara 1994,Robert Gallucci.
Pada Februari, rencana untuk melakukan pembicaraan di Amerika Serikat antara mantan pejabat AS dan Korea Utara dibatalkan saat Departemen Luar Negeri menolak sebuah visa untuk seorang utusan tertinggi Pyongyang setelah pembunuhan saudara tiri Kim, Kim Jong Nam, di Malaysia.
Sebelumnya Korea Utara telah dimasukkan ke dalam daftar sponsor terorisme untuk pemboman 1987 atas tragedi penerbangan Korean Air yang membunuh 115 orang. Namun administrasi mantan Presiden George W. Bush, menghapus penetapan tersebut pada 2008 sebagai imbalan atas kemajuan dalam perundingan denuklirisasi. Beberapa anggota Kongres telah berusaha bertahun-tahun agar Korea Utara dapat dimasukkan dalam daftar, namun beberapa lainnya mempertanyakan apakah rezim tertutup tersebut memenuhi kriteria untuk secara aktif mensponsori terorisme internasional.
Ketua Komite Urusan Luar Negeri dari Partai Republik, Ed Royce menyebut putusan tersebut sebagai langkah penting dalam upaya menerapkan tekanan diplomatik dan finansial pada Kim Jong Un. Senator Demokrat Edward Markey mengatakan penunjukan tersebut tidak berdampak apa pun untuk meminta pertanggungjawaban Korea Utara atas program senjatanya.
Sementara itu, Direktur studi pertahanan di Pusat Konservatif untuk Kepentingan Nasional, Harry Kazianis mengatakan peunjukan Korut sebagai negara pendukung terorisme bisa kontraproduktif. "Sayangnya, tindakan oleh administrasi Trump ini lebih jauh membuat permainan berbahaya," katanya. Badan mata-mata Korea Selatan mengatakan pada Senin bahwa Korut dapat melakukan uji coba rudal tambahan tahun ini untuk memperbaiki teknologi rudal jarak jauh dan meningkatkan ancaman terhadap Amerika Serikat.