REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah membenarkan soal surat yang beredar mengatasnamakan Setya Novanto (Setnov) yang meminta agar tidak dinonaktifkan dari Ketua DPR maupun anggota DPR. Dalam surat disebutkan bahwa Novanto meminta agar pimpinan DPR maupun Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak melakukan rapat pleno maupun sidang untuk penonaktifan dirinya.
"Ya, surat itu berikan informasi bahwa Ketua Umum Partai Golkar mengambil keputusan untuk memproses atau menunda proses pergantian Ketua DPR sampai proses hukum diselesaikan," ujar Fahri saat dihubungi, Selasa (21/11).
Fahri melanjutkan, ia mengetahui surat tersebut pada hari ini. Sementara Fahri tidak menyebut detil pihak pengirim surat tersebut, dan hanya mengatakan pengirim surat adalah penasihat hukum dari Novanto.
"Tadi, diantar lawyernya," katanya.
Fahri melanjutkan adanya surat itu pun menunjukan bahwa Novanto sebagai Ketua umum yang sah tentu sesuai dengan UU MD3 tidak akan ada surat dari DPP Partai Golkar untuk mengusulkan pergantian pimpinan.
Begitu halnya fraksi Partai Golkar, yang merupakan perpanjangan dari DPP Partai Golkar tidak akan dapat mengusulkan pergantian pimpinan karena tanpa ada mandat dari Ketua Umum.
"Karena tanpa mandat ketua umum, tanda tangan ketum asli atau sektjen maka surat tersebut nggak akan bisa diterima, karena syarat perubahan pimpinan DPR dalam UU MD3 menyatakan adanya tanda tangan ketum dan Sekjen yang asli, bukan pelaksana tugas atau pengganti," kata Fahri.
Fahri mengatakan, MKD juga tidak bisa memproses pelanggaran kode etik Novanto saat ini lantaran yang bersangkutan tengah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Untuk amannya proses di MKD, sebaiknya menggunakan pasal tentang apabila sudah ditetapkan sebagi terdakwa maka barulah yang bersangkutan bisa diproses, saya kira akan lebih mudah bagi MKD daripada melakukan pemeriksaan yang memerlukan kehadiran saksi, termasuk beliau sendiri," ujar Fahri.
Adapun beredar dua surat yang berisi tulis tangan tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP elektronik Setya Novanto. Dua surat tertanggal 21 November 2017 itu terdiri dari dua permintaan Novanto tehadap DPR dan Partai Golkar.
Surat kepada pimpinan DPR berisi "Bersama dengan ini saya selaku Ketua DPR RI sedang menghadapi kasus hukum proyek E-KTP yang disidik KPK, saya meminta pimpinan DPR lainnya dapat memberikan kesempatan saya untuk membuktikan tidak ada keterlibatan saya, dan untuk sementara waktu tidak diadakan rapat pleno sidang MKD terhadap kemungkinan menonaktifkan saya baik selaku Ketua DPR maupun selaku anggota dewan".
Sementara surat kepada Partai Golkar berisi "Bersama ini disampaikan tidak ada pembahasan pemberhentian sementara/....(tulisan tidak jelas) terhadap saya selaku Ketua Umum Partai Golkar dan untuk sementara saya tunjuk Plt Ketua Umum Idrus Marham, Plt Sekjen Yahya Zaini, Aziz Syamsuddin. Demikian harap dimaklumi."