REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Presiden Filipina Rodrigo Duterte kemungkinan akan mencabut penangguhan perang terhadap obat-obatan terlarang yang dilakukan oleh kepolisian. Hal ini disampaikan oleh juru bicara Duterte, Harry Roquepada pada Kamis (23/11).
"Sebuah keputusan akan segera dibuat," kata Roque dalam sebuah pertemuan rutin.
Keputusan ini membuat para aktivis khawatir. Mereka menuduh polisi melakukan pembunuhan dengan kedok obat bius. Di tengah kekhawatiran internasional atas jumlah korban tewas dan pembunuhan terhadap anak muda, Presiden Rodrigo Duterte bulan lalu menangguhkan operasi anti-narkotika yang dilakukan oleh polisi untuk kedua kalinya. Ia menempatkan badan penegakan obat-obatan terlarang di negara tersebut (PDEA) untuk bertanggung jawab atas operasi pemberantasan narkoba.
Harry Roque mengulangi keprihatinan Duterte yang diungkapkan pekan lalu bahwa masalah narkoba dapat meningkat. Hal ini akan memburuk jika Polisi Nasional Filipina (PNP) diberhnetikan dari operasi tersebut.
"Itu panggilan presiden. Jika menurutnya perang melawan narkoba harus dikembalikan ke PNP maka pastilah, PDEA sudah diberi cukup waktu," katanya
Dia menambahkan secara efektif telah mewujudkan keputusan untuk mengembalikan tanggung jawab tersebut ke PNP. Hampir 4.000 orang Filipina miskin perkotaan telah terbunuh dalam operasi anti-narkoba.
Kelompok hak asasi manusia dan lawan politik mengatakan eksekusi terhadap pengguna narkoba dan pedagang kecil telah meluas. Polisi mengatakan korban tewas adalah semua pengedar yang melakukan perlawanan kekerasan.
Wakil direktur Human Rights Watch di Asia Phelim Kine mengatakan, orang harus bersiap menghadapi pertumpahan darah kembali. Ia meminta adanya penyelidikan internasional yang dipimpin oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Sampai itu terjadi, jumlah korban yang menolak keadilan dan pertanggungjawaban kemungkinan akan terus bertambah," tulisnya dalam situs HRW.