Kamis 23 Nov 2017 20:31 WIB

Myanmar-Bangladesh Atur Pemulangan Pengungsi Rohingya

Rep: Marniati/ Red: Elba Damhuri
 Sebuah foto diambil dari video yang dirilis oleh UNHCR pada 16 Oktober, menunjukkan ribuan pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar tiba di perbatasan Anjuman, Bangladesh.
Foto: Roger Arnold/UNHCR via AP
Sebuah foto diambil dari video yang dirilis oleh UNHCR pada 16 Oktober, menunjukkan ribuan pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar tiba di perbatasan Anjuman, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Myanmar dan Bangladesh menandatangani sebuah kesepakatan pada Kamis (23/11) mengenai syarat untuk mengembalikan ratusan ribu Muslim Rohingya yang telah melarikan diri ke Bangladesh. Seorang pejabat pemerintah mengatakan penandatanganan ini diperlukan karena dikhawatirkan paraJenderaldapat menjadi penghalang dalam proses pemulangan ini.

"Kami siap untuk membawa mereka kembali sesegera mungkin setelah Bangladesh mengirim formulir kembali kepada kami," ujar Sekretaris tetap di Kementerian Tenaga Kerja, Imigrasi dan Kependudukan Myanmar Myint Kyaing.

Ia menjelaskan formulir berisi data lengkap perorangan sebelum proses pemulangan dilakukan. Penandatanganan dilakukan setelah pertemuan antara pemimpin sipil Myanmar Aung San Suu Kyi dan menteri luar negeri Bangladesh Abul Hassan Mahmood Ali di Naypyitaw.

Myint Kyaing mengatakan nota kesepahaman tersebut didasarkan pada kesepakatan pemulangan 1992-1993 antara kedua negara yang telah ditandatangani menyusul kekerasan sebelumnya di Myanmar.

Formulir yang harus diisi para pengungsi termasuk nama anggota keluarga, alamat saat di Myanmar, tanggal lahir dan sanggahan bahwa mereka akan kembali dengan sukarela.

Ia mengatakan berdasarkan kesepakatan 1992-1993, Myanmar akan menerima orang-orang yang dapat mengajukan dokumen identifikasi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Myanmar di masa lalu kepada Rohingnya. Untuk saat ini termasuk kartu verifikasi nasional dan kartu putih.

Diplomat dan pekerja bantuan mengatakan elemen kunci dari kesepakatan tersebut akan menjadi kriteria pemulangan dan partisipasi masyarakat internasional, seperti badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam prosesnya.

Menurut mereka, poin penting lainnya yang harus diperhatikan yaitu pengamanan untuk Rohingya dalam melawan kekerasan lebih lanjut, penyelesaian status hukum Rohingya dan mengizinkan mereka untuk tinggal di kediamannya dan melakukan pekerjaan.

Myint Kyaing menolak untuk menjelaskan poin-poin tersebut. Kesepakatan yang dibuat Myanmar dengan Bangladesh ini untuk mengurangi tekanan internasional.Sementara Bangladesh ingin memastikan kamp pengungsian yang terlalu banyak di wilayah Cox's Bazar tidak menjadi permanen.

Suu Kyi mengatakan pemulangan Muslim Rohingya yang sebagian besar tanpa kewarganegaraan akan didasarkan pada residensi dan dilakukan secara aman dan sukarela.

Namun, pemerintahan sipilnya yang berusia kurang dari dua tahun harus berbagi kekuasaan dengan militer yang memerintah negara tersebut selama beberapa dasawarsa, dan jenderal-jenderal Myanmar tampak kurang antusias dengan prospek kembalinya Rohingya.

Dalam sebuah peringatan kepada militer Myanmar, Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengancam akan meningkatkan sanksi kepada pihak yang bertanggung jawab atas kekejaman yang terjadi.

Pada Rabu, Amerika Serikat mengatakan operasi militer yang mendorong 620 ribu orang Rohingya mencari perlindungan di negara tetangga, sebagai bentuk pembersihan etnis. Hal ini menguatkan tuduhan yang pertama kali disampaikan oleh pejabat tinggi PBB di awal krisis kemanusiaan.

Duta Besar Rusia untuk Myanmar mengkritik sikap AS yang menggunakan istilah pembersihan etnis. Sikap AS ini dinilai tidak membantu dan dapat memperburuk situasi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement