REPUBLIKA.CO.ID,PORT MORESBY -- Kepolisian Papua Nugini, pada Kamis (23/11), menggerebek sebuah kamp bekas penjara yang dihuni para pencari suaka asal Australia di Pulau Manus. Penggerebekan dilakukan untuk menutup kamp tersebut dan memindahkan para pencari suaka yang tinggal di dalamnya.
Keberadaan kamp di Pulau Manus memang telah memicu kontroversi dan perdebatan. Hal ini karena Australia sengaja membuka kamp tersebut untuk membendung arus para pencari suaka yang berlayar dari Afrika, Timur Tengah, dan Asia sejak 2013.
Dengan kebijakan imigrasinya, Australia menolak untuk mendaratkan para pencari suaka yang telah berlabuh di daerah pesisir negaranya. Sebagai gantinya, Australia mengirim mereka ke kamp-kamp di lepas pantai Papua Nugini, antara lain di Pulau Manus dan negara kecil di Pasifik, yakni kepulauan Nauru.
Karena berada di luar wilayahnya, Australia membayar Papua Nugini dan Nauru untuk menampung ribuan pencari suaka dari berbagai negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia tersebut. Kebijakan imigrasi Australia ini yang menimbulkan protes dan kecaman, termasuk dari PBB serta kelompok hak asasi manusia.
Tak pelak tahun lalu, Pengadilan Tinggi Papua Nugini memutuskan kamp penampungan para pencari suaka yang pertama kali dibuka di Pulau Manus pada 2001 harus ditutup. Pengadilan beralasan tempat tersebut melanggar undang-undang dan hak asasi manusia.
Kendat demikian, para penghuni kamp yang berjumlah sekitar 300 orang tersebut enggan untuk dipindah atau direlokasi ke kota terdekat yakni Kota Lorengau. Mereka berdalih cemas akan serangan penduduk setempat jika harus beranjak dari kamp tersebut. Mereka pun menuntut solusi untuk nasibnya.
Karena menolak direlokasi, sejak akhir Oktober lalu, otoritas Papua Nugini menyetop suplai listrik, air, dan makanan ke kamp di Pulau Manus. Tangki penampung air yang berada di area kamp juga dikosongkan oleh aparat.
Sejak saat itu, para pencari suaka yang tinggal di kamp hidup dalam kondisi yang semakin jorok dan kotor. Mereka hidup tanpa air bersih atau persediaan makanan. Kendati demikian, mereka tetap bertahan.
Setelah tiga pekan berlalu sejak dihentikannya pasokan kebutuhan untuk para penghuni kamp, pada Kamis, petugas polisi dan imigrasi Papua Nugini menggeruduk kamp di Pulau Manus. Berdasarkan keterangan para pencari suaka, kepolisian Papua Nugini menghancurkan tempat tidur dan barang-barang lainnya.
Dalam penggerebakan yang cukup kisruh tersebut, puluhan pencari suaka berhasil ditarik keluar dari kamp, kemudian dibawa ke bus untuk diantarkan ke bangunan alternatif. Sedangkan ratusan lainnya masih bertahan di kamp dan tetap menolak direlokasi. Kepolisian pun membuat blokade di seputar kamp tersebut.
Direktur kelompok hak asasi manusia GetUp, Shen Narayanasamy mengaku telah mengunjungi kamp tersebut. Ia mengaku sangat prihatin melihat kondisi kehidupan para pencari suaka di kamp di Pulau Manus. Mereka tidur berdesakan di kontainer pengiriman serta tak memiliki air dan makanan.
"Orang-orang ini telah dicampakkan selama lebih dari empat tahun, sebagian merupakan pengungsi legal. Situasi hukumnya adalah ini jelas tanggung jawab Asutralia. Papua Nugini berbagi sebagian, tapi hanya Australia yang memaksa orang-orang ini pergi ke sana (Pulau Manus)," ujar Narayanasamy, dikutip Aljazirah.