Jumat 24 Nov 2017 05:41 WIB

Pengamat: Politik Transaksional Masih akan Marak di Pemilu

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Bayu Hermawan
Tolak politik uang.   (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Tolak politik uang. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN -- Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Muchammad Yuliyanto menilai politik transaksional masih akan marak terjadi pada tahun politik 2019. Fenomena ini diperkirakan bakal masif pada ajang pemilihan umum legislatif (Pileg).

Yuliyanto mengatakan, meski para pemilih sudah semakin pandai dalam memilih calon anggota legislatif maupun pemimpin negara, namun masih banyak politikus yang mengandalkan kapital besar untuk mempengaruhi pemilih.

"Inilah yang bakal memicu masifnya politik transaksional di tahun politik nanti," katanya di Ungaran, Jawa Tengah, Kamis (23/11).

Menurutnya, situasi seperti halnya Pemilu tahun 2014 kemungkinan besar masih akan terjadi pada tahun politik 2019. Politik uang masih akan mewarnai setiap hajat demokrasi.

Ia mengatakan, politisi baru yang mengandalkan dana besar secara langsung merusak proses pengkaderan di tubuh partai politik (Parpol). Padahal fenomena itu dilihat langsung oleh masyarakat pemilih yang merasa dirinya semakin otonom untuk menjual suara yang dimilikinya.

Akibatnya, terjadi politik transaksional yang ditandai dengan aksi saling ambil untung antara pemilih dan politisi calon anggota legislatif. Kondisi ini menyebabkan cost politik yang tinggi dan pada akhirnya bisa memantik terjadinya skandal mega korupsi.

Pola- pola semacam ini sudah jamak terjadi di hampir sepanjang sejarah reformasi di negeri ini. Ia mencontohkan kasus dugaan korupsi dana BLBI, kasus Hambalang dan yang terakhir dugaan mega korupsi KTP-el. Hal ini menunjukkan dampak politik biaya tinggi.

"Kasus korupsi besar yang merugikan negara itu berulang terus meski telah berganti Presiden," ujarnya.

Kondisi sama yang berlangsung terus-menerus seperti itu, masih kata Yulianto, akan menyebabkan masyarakat pemilih mengalami 'social inertia'. Yakni kondisi di mana masyarakat tidak lagi percaya akan terjadi perubahan di masa mendatang. Akibat selanjutnya, akan meningkatkan jumlah pemilih Golput yang justru memperburuk keadaan.

"Asal tahu saja, Golput tidak akan merubah keadaan dan hanya akan menguntungkan Parpol dan Caleg yang tidak bermutu dan hanya mengandalkan uang saja," tegasnya.

Yuliyanto menyarankan, agar partisipasi aktif masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya meningkat, maka Parpol dan politisi harus bersikap santun dalam berpolitik.

Selain itu juga fungsi Parpol sebagai wadah saluran aspirasi masyarakat dapat dikembalikan sesuai marwahnya. Ia meyakini masih ada pemilih rasional yang akan menggunakan akal sehat saat menggunakan hak pilihnya.

"Jumlahnya pun akan bisa semakin meningkat jika Parpol dan politisi menghormati etika dan moral dalam berpolitik," katanya

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement