‘’Kamu sudah tulis vonis kepada Ratko Mladik!’’ Pertanyaan ini muncul dari sahabat asal Bosna Edin Hadzalik. Lulusan pasca sarjana di universitas Malaysia kemudian menyatakan lega bila berita soal itu telah ditulis.
“Dia (Ratko Mladik) jagal. Seharusnya dihukum mati karena melakukan pembersihan entnis, bukan sekedar melakukan pmbunuhan saja,’’ sahut Edin lagi. (Keterangan gambar: Seorang ibu di Srebrenica menangis di depan jejeran peti mayat yang berisi suami, anak, dan kerabatnya)
Bagi Edin dan orang Bosnia sosok Jenderal Ratko Mladić adalah sosok yang sangat menakutkan dan membuat trauma yang berkepanjangan. Dia adah , panglima perang paling haus darah sejak berakhirnya era perang dunia kedua. Sekitar 8000 orang dibunuh, banyak diantaranta adalah kaum perempuan yang juga terkena tragedi perkosaan. Situasi ini terjadi dalam kurun 3 tahun, yakni dari tahun 1992-hingga 1995.
Kala itu warga Muslim Bosnia dibantai dengan alasan yang tak jelas. Mereka digiring masuk ke dalam rumah untuk insinerasi, atau turun ke jembatan yang akan ditembak, atau dipotong-potong, dan dilempar ke sungai Drina (sebuah sungai di Bosna).
Tak cukup dengan itu, bala tentara Bosnia yang dikomandani Mladic, membakar semua rumah dan banguna di banyak kota dan desa di Bosnia. Tujuannya melakukan ‘pembersihan’ semua orang non-Serbia. Perempuan dan anak-anak disekap di kamp-kamp pengungsian.
Di antara orang-orang di pengadilan HAM Den Haag yang mendengar vonis Ratko Mladic tersebut adalah Kelima Dautović. Warga Bosnia ini yang selamat dari kamp Trnopolje saat suaminya berada di Omarska. Dalam peristiwa pada tahun 1992 itu dia kehilangan banyak keluarga dan tetangganya. Bangunan dan gedung yang ada di kota kelahirannya di Kozarac juga diratakan.
"Bagi kami peristiwa (vonis pengadilan Den Haag) memang mengecewakan,meski kami sadar ini tidak mengherankan," katanya seraya mengatakan, orang Bosnia yang menjadi korban kekerasaan itu merasa sangat kecewa karena putusan pengadilan itu tidak menyebut adanya genosida. Mladik hanya didakwa melakukan pembunuhan massal.
"Mungkin mereka tidak ingin menyebutnya genosida karena pembantaian itu terjadi justru di bawah mata masyarakat internasional yang ada di sana, yang saat itu konon melindungi kita. Apapun itu, saya berharap para sejarawan melakukan pekerjaan yang lebih baik daripada para hakim,’’ katanya.
Memang bila melihat lokasi pembantaian itu tempatnya berada jauh dari keramaian karena berada di perbukitan terpencil. Meski begitu ‘bau busuk kejahatan’ tak bisa menyembunyikannya. Dan, tak masuk akalnya pembantaian itu terjadi di depan hidung pasukan PBB yang dipimpin pasukan asal Belanda. Dia tidak bisa mempertahankan kamp pengungsi ketika tentara Serbia datang untuk meminta agar pengungsi dipindahkan.
‘’Kala itu Srebrenica dan tempat kamp pengungsi sudah dikepung tentara bala tentara Serba. Entah merasa jeri atau karena beralasan demi menjaga keselamatan warga, maka tentara PBB dari Belanda ini kemdian menyerahkan begitu saja pengungsi kepada mereka untuk dipindahkan. Laki-laki dan anak-anak yang dianggap dewasa, di bawa pasukan pimpinan Mladic menuju sebuah perbukitan. Di sanalah mereka ditembali,’’ kisah Hasan, seorang penjaga Museum Pembantaian Muslim Bosnia di Srebrenica, beberaa bulan silam ketika ditemui Republikaco.id.
Hasan yang saat itu berusia 13 tahun selamat dan lolos dari maut meski ikut dalam rombongan pengungsi yang saat itu digiring ke perbukitan. Caranya, ketika dia berada dalam rombongan itu, pada sebuah kesempatan dia berhasil melarikan diri. Selama tiga minggu Hasan hidup terlunta-lunta di pegunung Serbia sebelum ditemukan oleh tentara PBB yang lain yang bermarkas di sekitar Sarajevo.
‘’Saya selama pelarin makan dedaunan dan minum air hujan dan sungai. Say aterus bergerak menuju Sarajevo. Untunglah pasukan PBB yang lain menemukan saya sehingga saya selamat, meski keadaan saat itu sudah sangat mengenaskan,’’ katanya.