REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pemerintah menerapkan langkah mundur dengan mengizinkan SPBU swasta menjual BBM dengan kualitas rendah. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menanggapi hadirnya SPBU Vivo yang belum lama ini diresmikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasiun Jonan.
Diakui Tulus, semakin banyak SPBU akan memudahkan akses bagi konsumen untuk membeli BBM, bahkan dengan harga dan kualitas yang kompetitif. Namun, menurut Tulus, ada beberapa anomali dengan hadirnya SPBU Vivo yang layak disorot. Anomali pertama, kata Tulus adalah SPBU Vivo menjual produk BBM dengan oktan (RON) rendah yakni RON 88, sama dengan RON premium Pertamina.
"Padahal roadmap-nya adalah pengurangan konsumsi dan distribusi RON 88 tersebut. RON 88 adalah RON yang paling rendah, tidak memenuhi standar Euro 2. Padahal saat ini standar dunia sudah dilevel Euro 4. Lihat dan bandingkan dengan Malaysia, yang menjual BBM dengan RON paling rendah 95. Lha ini pemerintah malah mendukung SPBU baru yang menjuall RON 88. Ini namanya tidak konsisten dan langkah mundur," ujar Tulus.
Tulis menuturkan seharusnya Menteri ESDM malu, negara lain bejibaku lIntuk lolos Eur03 dan Euro 4, sementara Indonesia belum lolos dengan Euro 2, karena masih melanggengkan BBM dengan RON 88. Anomali kedua, SPBU VIVO menjual harga BBM RON 88 dibawah harga pasar. Rencananya akan dijual Rp 6.100 per liter. Menurut Tulus, bisa saja ini hanya teknik marketing untuk menggaet konsumen dimasa promosi. Ketika masa promosinya lewat, bukan tidak mungkin akan menjual dengan harga normal atau bahkan lebih mahal.
Anomali ketiga, SPBU VIVO menjual BBM RON 88, tapi kemudian ditingkatkan seolah menjadi RON 89. "Klaim ini harus diuji dulu dilaboratorium independen untuk membuktikan kebenarannya. Namun sekalipun mengantongi RON 89, tetap jauh dari standar Euro 2," kata dia.
Anomali keempat, SPBU Vivo hadir di Jakarta. Tulus menuturkan seharusnya SPBU Vivo didorong untuk beroperasi di daerah remote, seiring dengan program pemerintah yang getol dengan kebijakan satu harga untuk BBM. Sebab, di daerah tersebut masyarakat jauh lebih membutuhkan karena masih minimnya infrastruktur SPBU.
Tulus juga mempertanyakan tentang perizinan Vivo. "Anomali kelima, kenapa Menteri ESDM dan jajarannya menyambut gegap gempita beroperasinya SPBU Vivo, dan dengan perizinannya pun konon sangat mudah," kata dia.
Tulus mengatakan Undang-Undang Migas melegitimasi adanya kompetisi di sektor minyak dan gas, baik dari sisi bulu dan atau hilir. Hadirnya SPBU swasta, di luar SPBU Pertamina, adalah keniscayaan atas legitimasi UU Migas tersebut. Di Jakarta dan sekitarnya sudah banyak SPBU swasta asing sebagai wujud kompetisi tersebut.
Namun, menurut dia, dioperasikannya SPBU Vivo yang menjual BBM dengan kualitas rendah, adalah tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah itu sendiri, yang akhir-akhir ini getol mengusung kebijakan energi bersih, bahkan energi baru dan terbarukan. Dia juga menilai beroperasinya SPBU ini tidak sejalan dengan target Indonesia untuk mengurangi produksi karbon hingga 26 persen pada 2030.
"Bagaimana mau mengurangi produksi karbon jika penggunaan bahan bakar kualitas rendah yang sangat mencemari lingkungan masih sangat dominan?" katanya.