REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Elektabilitas Partai Golkar kembali menurun. Hal ini seperti diungkap oleh salah satu lembaga survei Poltracking Indonesia dalam hasil survei nasional terbarunya di mana Golkar hanya menempati posisi ketiga dengan 10,9 persen. Bahkan kini, Partai Golkar disalip oleh Partai Gerindra di posisi kedua dengan 13,6 persen.
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yudha mengatakan ada dua hal untuk membaca perubahan posisi ini. Yakni, apakah memang kenaikan dari Partai Gerindra ataukah memang penurunan Partai Golkar.
"Gerindra mengalami insentif elektoral dari figur Prabowo. Nah Golkar, geser ketiga karena kenaikan Gerindra dan memang karena tren Golkar cenderung turun karena mengalami dinamika internal ketua umum, persoalan hukum itu jadi faktor," kata Hanta dalam rilis hasil survei Poltracking Indonesia di Sari Pan Pasific, Jakarta pada Ahad (26/11).
Meski, Hanta meyakini persoalan hukum Novanto bukan satu-satunya faktor yang membuat elektabilitas partai beringin itu kembali merosot. Namun, paling tidak menjadi salah satu penyumbang terbesar. Ia melanjutkan, memang Partai Golkar bukan partai yang bergantung pada sosok figur tertentu.
"Tapi pada isu bersih antikorupsi, ini kan ketua umum, ini simbol. Kalau ada kader Partai Golkar tersangkut kasus mungkin publik pemaklumannya tinggi, tapi ini kan simbol ketua umum jadi beri dampak, secara elektoral maka kasus ini jadi beban elektoral bagi Golkar, menganggu citra publik," kata Hanta.
Selain itu, penurunan ini juga justru merugikan dan membahayakan bagi internal Partai Golkar untuk Pemilu mendatang. Pengamat politik ini juga menilai dukungan Partai Golkar kepada Presiden Joko Widodo, ternyata belum membuat Golkar terkapitalisasi dan mampu menaikkan elektabilitas Partai Golkar.
Hal ini berbeda dengan PDIP yang elektabilitasnya kini menempati posisi nomor satu karena diperkuat oleh Jokowi. "(Golkar) belum terasosiasi kuat bahwa mendapatkan insentif elektoral dari pendukung Jokowi," kata Hanta.