REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengatakan, disrupsi teknologi berdampak pada keuangan negara yang akan diaudit. Pasalnya, disrupsi teknologi berkaitan dengan bisnis dan akuntabilitas.
Disrupsi teknologi merupakan sesuatu yang menggeser teknologi yang telah mapan dan menggoyang industri atau produk yang kemudian melahirkan industri baru.
"Disrupsi awalnya, bagaimana perusahaan kecil yang efisien men-disrup atau mengacau perusahaan besar. Hanya saja sekarang maknanya lebih luas karena ada perubahan informasi dan teknologi," ujar anggota BPK Agung Firman Sampurna, Senin (27/11).
Maka, kata Agung, ada hal-hal baru yang membuat kemapanan satu bisnis besar menjadi terganggu. Hal itu karena inovasi baru lahir sehingga perlu direspon dengan berbagai regulasi.
"Saya kasih contoh, sekarang ini ada keributan, satu masalah di sektor transportasi terkait bisnis online. Lalu kedua, mulai masuk ke sektor akomodasi atau perhotelan sebab dengan disrupsi ekonomi ternyata orang bisa pesan kendaraan atau hotel dengan gampang," jelas Agung.
Menurut Agung, dengan disrupsi teknologi, para pengelola akomodasi tidak harus mempunyai tempat sendiri atau izin usaha khusus. Kini sebagian besar kamar di rumah pun bisa disewakan seperti hotel.
"Nah ini berdampak ke beberapa hal. Di antaranya pada lingkup keuangan negara yang akan dilakukan audit, lalu berdampak pada tanggung jawab pemerintah, dan pada bisnis serta akuntabilitas," kata Agung.
Dengan begitu, Agung menyatakan, akuntabilitas bukan hanya tanggung jawab kementerian dan lembaga seperti BPK yang mengelola keuangan negara. Melainkan, tanggung jawab semua masyarakat.