REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kehebatan menyusun detail-detail yang dimiliki Hercule Poirot (Kenneth Branagh) tidak perlu diragukan lagi. Dia bahkan cenderung terlalu terobsesi dengan keteraturan seperti seseorang yang memiliki Obsessive-Compulsive Disorder (OCD)
Dengan sifat tersebut, tidak salah dia memilih menjadi seorang detektif yang sangat mengedepankan sesuatu yang tidak biasa terjadi. Dan laiknya detektif terkenal, dia selalu menjadi andalan di mana pun berada.
Hingga dia melakukan perjalanan dari Istambul menuju London atas undangan rekan dekatnya Bouc (Tom Bateman) selaku direktur Orient Express. Awalnya, dektetif itu menerima tawaran atas dasar ingin melakukan liburan dan menikmati perjalanan selama tiga hari tanpa tertimpa masalah-masalah yang mesti dipecahkan.
Tiba-tiba saja, terjadi pembunuhan, waktu liburan Poirot pun berubah. Dia tidak menyangka jika akan ada korban di tengah perjalanan kereta dengan kondisi tertahan di tengah longsor salju.
Untuk mengumpulkan detail-detail yang tertinggal dan tidak berada di tempatnya, Poirot mewawancarai satu per satu penumpang dengan latar belakang mereka. "Saya melihat iblis di kereta in?" ujar Poirot. Dan, siapakah iblis yang membunuh di tengah perjalanan tersebut?
Film Murder on The Orient Express arahan Kenneth Branagh cukup menguras pikiran untuk mengikuti kisah berliku. Mencari siapa pembunuh dari 12 tersangka yang ada.
Cerita tersebut merupakan daptasi dari novel dengan judul yang sama terbitan tahun 1934 karya Agatha Christie. Selain itu, cerita tersebut pun sebelumnya sudah dibuat film dengan arahan Sidney Lumet pada 1974.
Meski telah digarap ulang, ada kesegaran yang bisa dinikmati, seperti cerita pembukanya. Namun, jangan menaruh ekspetasi berlebihan, situs kritikus film Rottentomatoes hanya memberikan 56 persen penilaiananya dari 204 ulasan film yang masuk.