REPUBLIKA.CO.ID,Sesuai dengan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No 3 tahun 2004 dan UU No 6 tahun 2009, Bank Indonesia memiliki tujuan tunggal memelihara stabilitas nilai rupiah. Sedangkan stabilitas nilai rupiah ini, secara garis besar diukur berdasarkan dua indikator.
Yakni, nilai rupiah terhadap mata uang asing yang diukur melalui sistem kurs mata uang, dan nilai rupiah terhadap harga komoditi yang diukur melalui tingkat inflasi. Secara keseluruhan, stabilitas nilai rupiah ini menjadi landasan utama bagi seluruh kegiatan ekonomi yang berlangsung di masyarakat.
Keberhasilan berbagai program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah, sangat bergantung dari stabilitas nilai rupiah. Bahkan kemunduran ekonomi nasional, juga dipengaruhi oleh stabilitas nilai rupiah.
Kegiatan ekspor impor dan lalu lintas devisa suatu negara untuk pemenuhan kebutuhan barang dalam negeri, akan tergantung kurs mata uang. Sedangkan kegiatan ekonomi dalam negeri, akan sangat dipengaruhi inflasi.
Direktur Grup Kebijakan Moneter, DKEM, Bank Indonesia, Yoga Affandi dalam Pelatihan Wartawan Daerah yang diselenggarakan Bank Indonesia di Jakarta, 21-22 November 2017, menyebutkan laju pertumbuhan inflasi ini akan sangat menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Laju inflasi yang tinggi akan menyebabkan upaya mensejahterakan masyarakat menjadi sulit dicapai. Harga barang yang melonjak, akan menyulitkan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir dalam acara acara yang sama, menyebutkan tingkat inflasi yang tinggi akan meningkatkan suku bunga yang dibayarkan dan menambah beban APBN. Dengan beban APBN semakin berat, pada akhirnya program pembangunan yang dilaksanakan pemerintah juga semakin kecil.
Dalam upaya menjaga stabilitas nilai rupiah terhadap nilai kurs, Bank Indonesia memiliki cukup banyak instrumen yang bisa digunakan. Antara lain, melalui penetapan kebijakan moneter, menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan membuat regulasi serta pengawasan aspek makroprudensial.
Namun dalam hal pengendalian stabilitas rupiah terhadap komoditi atau pengendalian inflasi, Bank Indonesia tidak bisa bekerja sendiri. Dalam hal pengendalian inflasi ini, BI hanya memiliki kewenangan sebatas kebijakan di sektor moneter dan makroprudential yang lebih bersifat preventif.
Semenetara untuk pengendalian di sektor riil yang menyangkut kebijakan ketersediaan barang, kelancaran distribusi serta penetapan harga komoditi tertentu (administratif price) yang lebih banyak mempengaruhi faktor inflasi, lebih banyak ditentukan oleh pemerintah.
Untuk komoditi yang harganya ditetapkan pemerintah atau sektor administrative price, kebijakan yang diambil pemerintah pusat akan lebih menentukan. Namun untuk aspek ketersediaan barang dan kelancaran distribusi barang volatile food, pemerintah daerah juga ikut memainkan peran penting.
Sejauh ini, pemerintah daerah yang boleh dikatakan cukup 'maju' dalam upaya pengendalian inflasi, adalah Pemerintah Provinsi Jateng. Melalui berbagai terobosan yang dilakukan, Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) yang didalamnya termasuk unsur dari kantor Bank Indonesia Perwakilan Jateng, berhasil menekan laju inflasi di daerahnya.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dalam acara yang sama menyebutkan, sepanjang tiga tahun terakhir, laju inflasi di Jateng berhasil ditekan pada kisaran angka tiga. Angka inflasi pada tahun 2015 tercatat 3,35, tahun 2016 tercatat 3,02 dan tahun 2017 hingga Oktober 2017 tercatat 3,07 (yoy). Bahkan pada tahun 2017 ini, ada kecenderungan inflasi Jateng di bawah angka inflasi nasional.
Menurut Ganjar, keberhasilan menekan angka inflasi pada tingkat yang rendah, secara tidak langsung memberi dampak pada upaya menekan tingkat kemiskinan. Bila pada tahun 2014, tingkat kemiskinan di Jateng mencapai 14,46 persen, maka pada tahun 2017 bisa ditekan menjadi 13,01 persen atau sebanyak 4.450.720 jiwa.
Ganjar menyebutkan, untuk mengendalikan laju inflasi di tingkat yang rendah, TPID menerapkan lima strategi yang disebut sebagai Pandawa Lima. Yakni, menjamin ketersediaan pasokan barang, pembentukan harga yang terjangkau, pendistribusian barang yang aman dan lancar, perluasan akses informasi, dan penerapan protokol manajemen lonjakan harga.
Dalam hal penerapan protokol manajemen lonjakan harga, TPID Jateng membuat terobosan inovatif dengan membuat aplikasi berbasis android bernama Sihati (Sistem Informasi Harga dan Produksi Komoditi). ''Melalui aplikasi ini, masyarakat luas bisa memantau perkembangan-perkembangan harga komoditi strategis yang ada di Jawa Tengah,'' jelasnya.
Bahkan bagi anggota TPID, bisa memantau lonjakan harga komiditi sekaligus melakukan konsultasi virtual untuk kemudian diambil kebijakan bila terjadi lonjakan-lonjakan harga komoditi yang tidak wajar.
''Data mengenai harga-harga komoditi yang tarcantum dalam aplikasi ini, bisa menjadi //early warning// (peringatan dini) terhadap kemungkinan mengenai lonjakan perkembangan harga komoditi sehingga upaya meredam lonjakan bisa segera dilakukan,'' katanya.
Dengan penggunaan teknologi inovatif tersebut, Ganjar menyebutkan, TPID Jawa Tengah berhasil mendapatkan penghargaan TPID Inovatif 2016 dari Presiden Joko Widodo. Bahkan dalam pertemuan dengan kepala daerah dari daerah lain, ada beberapa kepada daerah yang juga tertarik memanfaatkan aplikasi ini.
''Untuk itu, saya mempersilakan mereka untuk memanfaatkan aplikasi Sihati. Hanya tinggal diubah harganya, karena saya kira untuk jenis komoditinya akan sama saja di semua daerah,'' jelasnya.
Mengingat pentingnya peran pemerintah daerah dalam pengendalian inflasi, Direktur Grup Kebijakan Moneter, DKEM, Bank Indonesia, Yoga Affandi menyebutkan, ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat koordinasi kebijakan bersama pemerintah daerah dan juga pemerintah pusat. Terutama dalam menjaga tingkat inflasi tahun 2018 agar tetap terjaga di kisaran angka 3,5.