REPUBLIKA.CO.ID, Persia merupakan salah satu elemen peradaban Timur yang berlokasi di Iran sekarang. Iran terletak di daerah lembah Mesopotamia, sebuah kawasan dengan peradaban yang maju pada saat itu. Oleh kebanyakan, ahli daerah tersebut dikenal dengan The cradle of civilization atau lahirnya peradaban. Namun, pada 5 Januari 603 M, dimulailah perang antara Romawi dan Persia yang berlangsung selama 24 tahun yang kemudian mengubah peradaban.
Perang tersebut terjadi akibat terbunuhnya Maurice, Kaisar Romawi yang merupakan pelindung dan sekutu dekat Khusrou Parvis, raja Iran saat itu. Setelah kematian ayahnya, putra Maurice datang ke Iran untuk meminta pertolongan dari Khusrou Parvis. Khusrou Parvis kemudian mengirimkan pasukannya ke Romawi untuk membalas dendam atas kematian Maurice.
Sementara itu, ddalam waktu singkat beberapa kota di Romawi berhasil ditaklukkan. Kaisar baru Romawi, yaitu Fukas, kemudian mengajak Khusrou Parvis berunding. Namun, kemenangan yang diraih Khusrou Parvis membuatnya merasa kuat dan menolak melakukan perundingan. Akibatnya, perang terus berlangsung hingga 24 tahun dengan kemenangan secara silih-berganti diperoleh Iran dan Romawi.
Adapun raja yang memegang tampuk kekaisaran Romawi pada akhir abad ke-7 M adalah Maurice, seorang raja yang kurang memperhatikan masalah kenegaraan dan politik. Oleh karenanya, angkatan bersenjatanya pun kemudian mengadakan kudeta di bawah pimpinan panglimanya yang bernama Pochas.
Setelah mengadakan kudeta, Pochas naik tahta dan menghukum keluarga raja dengan cara yang kejam. Serta mengirim seorang duta ke Persia, yang pada waktu itu dipegang oleh Kisra Chorus II, putra Kisra Anu Syirwan yang adil.
Saat Kisra tahu kejadian kudeta di Romawi, dia menjadi sangat marah. Ini karena Kisra pernah berhutang budi pada Maurice yang sekaligus juga mertuanya. Kemudian Kisra memerintahkan untuk memenjarakan duta besar Romawi, dan menyatakan tidak mengakui pemerintahan Romawi yang baru.
Orang Islam dan orang-orang Romawi mengharapkan kemenangan mereka atas orang-orang kafir dan musyrikin, sebagaimana halnya mereka mengharapkan kekalahan orang-orang kafir Makkah dan orang Persia. Ini disebabkan mereka merupakan penyembah benda-benda materi.
Sementara orang-orang Nasrani--meskipun sebagian dari mereka sudah menyimpang dari ajaran Isa Putra Maryam-- merupakan saudara dan sahabat terdekat kaum Muslimin. Dengan demikian, pertarungan yang terjadi antara orang-orang Persia dan Romawi menjadi lambang luar pertarungan antara orang-orang Islam dan musuh-musuhnya di Makkah.
Maka, pada waktu Persia berhasil mengalahkan orang-orang Romawi pada tahun 616 dan berhasil menguasai seluruh wilayah sebelah timur negara Romawi, orang-orang musyrikin pun mendapat kesempatan untuk menghina kaum Muslimin dengan mengatakan, saudara kami berhasil mengalahkan saudara kamu. Demikian pula yang akan kami lakukan kepadamu, jika kamu tidak mau mengikuti kami yaitu meninggalkan agama kamu yang baru (Islam).
Penaklukan Andalusia
Dalam khazanah Sejarah Peradaban Islam, Dinasti Umayyah atay Amawiyyah dibagi ke dalam dua zona dan periode kekuasaan, Timur yang berpusat di Damaskus dan Barat berpusat di Spanyol atau Andalusia. Dalam Enseklopedi Islam, Andalusia adalah sebuah nama yang dikenal di dunia Arab dan Islam untuk semenanjung Iberia.
Wilayah itu, kini terdiri dari dua Negara, yaitu Spanyol dan Portugal. Sejak kemenangan pasukan Islam di bawah kekuasaan Dinasti Amawiyyah I atau Amawiyyah Timur dan berhasil merebut serta mengintervensi berbagai kekuatan politik lainnya di Afrika Utara, maka dengan sendirinya Spanyol telah ikut menyempurnakan keberhasilan mereka.
Kemudian Gubernur Afrika Utara, Musa bin Nusayr mengirim pasukan untuk melakukan penaklukan ke wilayah ini yang dipimpin oleh Panglima Triq bin Ziyad pada tahun 710 M. Pasaukan ini tidak mendapatkan perlawanan yang intensif dari penguasa mereka. Hal ini terjadi karena secara politis pemerintahan pada waktu itu sangat lemah dan tidak mendapat dukungan yang berarti dari rakyat.
Pasukan Triq bin Ziyad berhasil mengalahkan Raja Roderick dan menewaskannya dalam suatu pertempuran. Kemenangan ini menjadi modal bagi Triq bin Ziyad dan pasukannya untuk menaklukkan kota lainnya seperti Cordova, Archedonia, Malaga, Elvira, dan akhirnya Toledo, yakni pusat kerajaan Visigoth.
Setelah mendengar keberhasilan pasukan Islam, pada tahun 712 M, Musa bin Nusair memimpin suatu pasukan menuju Andalusia melalui jalan yang tidak dilalui oleh pasukan Triq dan berhasil melewati dan menaklukkan pantai barat semenanjung Spanyol yakni Sevilla dan Merida yang kemudian bertemu dengan pasukan Tariq di Toledo.
Dengan bergabungnya dua pasukan, daerah yang ditaklukan semakin meluas sampai ke Utara seperti Saragossa, Terrofona, dan Barcelona. Setelah menjadi bagian dari wilayah Islam yang berlangsung dari tahun 711-755 M, wilayah Spanyol diperintah oleh para gubernur yang diangkat langsung oleh pemerintahan pusat Dinasti Amawiyyah yang berada di Damaskus (Syiria).
Namun, setelah tumbangnya kekuasaan Dinasti Amawiyyah Timur dan berdirinya Dinasti Abbasiyyah, para mir atau gubernur yang dulu beraviliasi ke Damaskus, kini tidak lagi merasa terikat dengan dinasti sebelumnya yang berpusat di Damaskus maupun dinasti yang baru yang dalam hal ini adalah Dinasti Abbasiyyah yang berpusat di Baghdad. Kendati para gubernur itu secara de jure mengakui eksistensi kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad, tapi secara de facto dan politis mereka tidak mau terikat atau melakukan bay'ah pada pemerintahan baru di Baghdad.
Sekalipun Dinasti Amawiyyah telah ditaklukan dan seluruh keturunannya dikejar dan dibunuh, salah seorang dari mereka, Abd al-Rahmn bin Mua'wiyyah bin Hishm bin Abd al-Mlik (yang kemudian bergelar Abd al-Rahmn al-Dakhl yang berarti sang penyusup, berhasil meloloskan diri dari pengejaran penguasa Dinasti Abbasiyyah.
Dengan dukungan politik dari istana Ban Rustm di Afrika Utara, Abd al-Rahmn al-Dakhl mulai menyusup memasuki kota Algeciras tahun 755 M. Dalam tahun 756 M, dimulailah masa pengakuan dan bay'ah terhadap eksistensi dan kemenangan al-Dakhl atas amir-amir di sebagian Spanyol yang meliputi Sevilla, Archidon, Sidonia, dan Moron de Frontura.
Akhirnya, pada tanggal 15 Mei 756 M, Abd al-Rahmn al Dakhl memproklamirkan berdirinya Imrah Amawiyyah II di Andalusia. Dengan demikian, secara resmi dimulailah kekuasaan yang kedua dari Dinasti Amawiyyah sebagai negara yang berdiri sendiri, berdaulat yang lepas dari Abbasiyyah di Baghdad Wilayah Islam di Spanyol dalam kekuasaan Amawiyyah II ini, terbagi ke dalam lima provinsi (vice royalty) yang dikepalai oleh seorang mir atau shib dengan Cordova sebagai pusat pemerintahan.
Dengan demikian, Spanyol bukan lagi sebagai sebuah provinsi dari sebuah dinasti, akan tetapi sudah menjadi sebuah Negara yang berdaulat yang mempunyai seorang raja yang lebih menyukai menggunakan gelar Amr al-Muminn daripada khalifah. Sejak saat itu, Spanyol menjadi pusat perdaban Islam di wilayah Eropa yang diperhitungkan oleh negara-negara Eropa dari segi pengaruhnya terhadap peradaban Eropa pada masa itu.
Penaklukkan Konstatinopel
Setelah seluruh persiapan telah siap Muhammad Al-Fatih memobilisasi, pasukannya menuju Konstantinopel. Sultan Muhammad Al-Fatih mempersiapkan serangan ke Konstantinopel dengan sempurna. Dia berusaha mencari informasi mengenai Kondisi kota ini, menyediakan peta yang diperlukan pasukannya untuk melakukan pengepungan Konstantinopel. Ia menyelidiki dan menyaksikan begitu kokohnya Konstantinopel beserta pagar pagarnya.
Sultan Muhammad Al-Fatih meratakan jalan antara Edirne dan Konstantinopel agar bisa dilewati meriam-meriam besar dengan mudah. Meriam-meriam bergerak dari Edirne hingga mendekati Konstantinopel dalam jangka waktu dua bulan di bawah penjagaan pasukan Ustmani. Pada 6 April 1453 M, tentara Ustmani dengan dipimpim Muhammad Al-Fatih sampai di sebelah Timur Konstantinopel.
Sebagaimana tradisi perang dalam Islam, ia menawarkan tigal hal pada Byzantium yaitu : masuk Islam, menyerahkan kota secara baik-baik tanpa masuk Islam, atau diperangi. Ternyata tawaran Muhammad Al-Fatih ditolak. Kaisar Byzantium Constantin XI menginginkan opsi yang berbeda. Ia bersedia embayar upeti pada Turki tanpa harus menyerahkan kota.
Hal ini tentu tidak bisa diterima oleh Muhammad Al-Fatih, karena tekadnya untuk menguasai Konstantinopel sudah bulat. Dari penolakan tersebut maka Muhammad Al- fatih meneruskan niatnya, maka terjadilah perang melawan Pasukan konstantinopel. Pasukan Muhammad Al-Fatih terus berupaya untuk bisa menembus benteng pertahanan Konstantinopel yang dikawal oleh para prajurit-prajurit tangguh yang tidak mudah dikalahkan meskipun jumlah mereka lebih sedikit jika dibandingakan dengan kaum Muslimin.
Militer Byzantium yang berada pada posisi yang lebih tinggi dari pasukan Ustmani yakni berada di atas pagar atau tembok Konstantinopel memiliki keunggulan tersendiri dalam menghadapi musuh. Mereka lebih mudah untuk melihat posisi pasukan Ustmani.
Dengan posisi yang seperti ini pasukan Byzantium juga lebih mudah melakukan serangan dengan melontarkan panah atau amunisi militer lainnya kepada pasukan Ustmani. Setiapk ali bagian tembok atau pagar Konstantinopel tertembus meriam dari pasukan Ustmani dengan cepat pula diperbaiki. Hal ini tentu sudah diprediksikan oleh Konstantinopel sebelumnya.
Pada tanggal 27 Mei 1453, Sulthan Muhammad Al- Fatih mengatur dan mengawasi seluruh pasukannya untuk persiapan penyerangan yang terakhir. Sebelum serangan dilancarkan Sulthan Muhammad Al Fatih mengingatkan kepada seluruh pasukannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, melaksanakan shalat dan memohon doa supaya mendapatkan keberhasilan dalam penaklukan Konstantinopel. Selain Muhammad Al- Fatih para ulama yang turut mendampinginya juga memberikan semangat berperang kepada para militernya.
Sementara pada tanggal 28 Mei 1453 setelah persiapan telah matang dan siap tempur meriam-meriam mulai menembakkan peluru-peulurunnya. Sulthan Muhammad Al-Fatih tiada hentinya mengawasi pasukannya dengan selalu memberi semangat untuk tetap ikhlas dalam berjihad.
Pada 29 Mei 1453 M, serangan umum terhadap konstantinopel dilakukan. Penyerangan secara serentak dilakukan dari berbagai sisi baik dari darat maupun dari laut. Pasukan Muhammad Al Fatih dengan semangat juang yang tinggi menyongsong kemenangan atau memperoleh mati syahid dalam menaklukan
Dalam penyerangan besar-besaran ini banyak pasukan Muslimin yang gugur. Melihat hal ini kaisar Konstantin tetap berusahan semaksimal mungkin memompa semangat pasukannya untuk mempertahankan negerinya. Di sinilah terlihat jiwa kepemimpinan kaisar Konstantin yang tidak mau meninggalkan pasukan dan rakyatnya meskipun dari awal mereka meminta kepadanya untuk pergi meninggalkan Konsatntinopel. Akhirnya Konstantinopel dapat ditaklukan oleh Muhmmad Al-Fatih bersama pasukan terbaiknya.