REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Berhembusnya kabar bahwa pembiayaan penyakit katastropik tidak akan lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan membuat kekhawatiran sebagian masyarakat. BPJS Kesehatan sendiri telah membantah kabar tersebut dengan menyatakan bahwa kabar tersebut adalah hoax.
Terdapat 8 penyakit katastropik yang dimaksud, yaitu penyakit jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatis, thalasemia, leukimia, dan hemofilia.
Lembaga Kajian dan Konsultasi Pembangunan Kesehatan (LK2PK) juga turut menyoroti permasalahan pembiayaan Penyakit Katastropik tersebut. LK2PK menilai pembiayaan Penyakit Katastropik yang sangat tinggi ini perlu dicarikan solusinya solusi.
Setiap tahunnya, pembiayaan JKN untuk 8 jenis Penyakit Katastropik selalu berada di atas angka 20% dibandingkan seluruh biaya pelayanan kesehatan. Memprihatinkan melihat 8 penyakit tersebut sangat membebani dana JKN yang kita kumpulkan dari semua peserta, dimana BPJS Kesehatan saat ini sudah kewalahan akibat missmatch (tidak seimbangnya besaran premi yang diterima dengan biaya pelayanan kesehatan).
“Kita butuh data penderita katastropik sebelum era JKN yang menggunakan Askes dan biaya pribadi, dibandingkan pertumbuhan katastropik setelah adanya BPJS. Bisa jadi katastropik ini memakan biaya besar karena yang selama ini tidak berobat ataupun berobat tradisional, ramai-ramai berobat setelah ada BPJS. Jadi kasus bertahun-tahun akhirnya harus ditanggung anggaran setahun,” kata Dewan Pendiri LK2PK Muhammad Amin, seperti dalam siaran persnya kepada Republika.co.id, Jumat (1/12).
Sam’ani Kurniawan, yang juga dewan pendiri LK2PK mengatakan, "Kita mesti tetap berpegangan pada prinsip bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh 4 faktor dominan yaitu perilaku, kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan, dan herediter. Pelayanan kesehatan kita masih disibukkan dengan berbagai masalah ketersediaan infrastruktur pun dengan skema pembiayaan kesehatannya."
Sam'ani berharap cost sharing bukan menjadi pilihan utama dalam memperbaiki kekurangan yang ada dalam sistem pembiayaan kesehatan. Menurutnya masih banyak alternatif lain yang bisa dikembangkan oleh pemerintah selaku regulator maupun BPJS Kesehatan sebagai operator.
Dr Abd Halik Malik, dewan pendiri LK2PK lainnya menambahkan, “Cost sharing bisa diterapkan pada kasus moral hazard untuk mencegah hal tersebut terjadi. Namun pada penyakit katastropik, akan menyulitkan peserta karena beban biaya yang sulit dipastikan. Malah karena paket jaminan penyakit katastropik inilah sehingga masyarakat banyak yang berminat untuk mendaftarkan dirinya sebagai peserta JKN.”
Beberapa akademisi telah menawarkan konsep penggunaan cukai rokok atau bahkan penarikan premi untuk setiap bungkus rokok di luar cukai. Secara ilmiah, rokok memang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap timbulnya berbagai penyakit katastropik. Sehingga wajar apabila ia membayar dosanya dengan cara ikut serta pada pembiayaan kesehatan.
Direktur Eksekutif LK2PK dr Ardiansyah Bahar mengatakan apapun solusi yang akan diambil, hendaknya melibatkan semua pihak dan memperhatikan kondisi di lapangan.
“Menteri-menteri terkait, utamanya Menko PMK dan Menteri Kesehatan hendaknya segera mengambil langkah-langkah dalam mencari sumber pendanaan lain serta menyempurnakan sistem pembiayaan katastropik. Hal ini sesuai dengan Inpres No 8 Tahun 2017 yang baru dikeluarkan. Semoga semua pihak dapat memaksimalkan perannya untuk memperbaiki sistem jaminan kesehatan nasional yang saat ini sedang berjalan,” katanya.