Ahad 03 Dec 2017 15:40 WIB

Menlu Qatar: Kekacauan Kawasan Gara-Gara Permainan Kekuasaan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Menteri Luar Negeri (Menlu) Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani
Foto: AP /Gregorio Borgia
Menteri Luar Negeri (Menlu) Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA - Menteri Luar Negeri (Menlu) Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani mengatakan permainan kekuasaan di Timur Tengah dan Mediterania telah menyebabkan serangkaian perang regional. Menurutnya, perang di Yaman, Libya, dan Irak didorong oleh permainan kekuasaan yang dimainkan oleh negara-negara seperti Arab Saudi.

"Keadaan polarisasi ini didorong oleh para pemimpin yang menggunakan stabilitas sebagai pembenaran dan hambatan terhadap perubahan," kata Sheikh Mohammed, di Roma, pada Sabtu (2/12), dikutip Aljazirah.

 

"Penolakan terhadap perubahan bisa berarti orang-orang mulai kehilangan harapan, mengubah kawasan ini menjadi tempat berkembang biak terorisme, kemudian bisa meluas dari wilayah ini ke Eropa atau tempat lain di dunia ini," paparnya.

 

Sheikh Mohammed mengatakan, kepemimpinan regional yang impulsif berada di jantung permainan ini. Terlebih lagi, terdapat kurangnya mekanisme formal untuk negara-negara kecil untuk mengajukan keluhan terhadap negara-negara yang lebih besar.

 

"Untuk menghentikan para pemain agar tidak melanjutkan permainan dan petualangan mereka, [kita perlu] sebuah dialog yang diikuti oleh semua negara, terkait keamanan regional," ujar Sheikh Mohammed.

 

"Peningkatan dan pembangunan terkait kesepakatan politik, keamanan, dan ekonomi juga diperlukan, yang tidak akan pernah terganggu oleh perselisihan politik," tambah dia.

 

Komentar Menlu Qatar tersebut disampaikan setelah blokade terhadap Qatar telah memasuki bulan keenam. Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA), bersama dengan Mesir, melakukan blokade terhadap Qatar pada Juni, setelah menuduh Doha mendukung terorisme.

 

Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman Al Saud, pewaris takhta kerajaan berusia 32 tahun, telah membuat sejumlah keputusan kontroversial dalam beberapa tahun terakhir. Ia membawa Arab Saudi ke dalam perang bencana di Yaman, melakukan pembersihan politik dalam negeri, dan diduga memaksa Perdana Menteri Lebanon Saad Hariri untuk mengumumkan pengunduran dirinya dari Riyadh.

 

Pada saat yang sama, penolakan blok negara-negara yang dipimpin Arab Saudi untuk melakukan dialog dengan Qatar telah mengancam keruntuhan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).

 

"Semua pihak yang terlibat harus mencapai tingkat pemahaman dan panduan prinsip keamanan yang setiap orang harus patuhi, daripada meminta negara-negara yang lebih besar untuk menggertak yang lebih kecil," ungkap Sheikh Mohammed

 

Dia juga mengutip perlunya melakukan dialog terbuka dengan Iran, saingan regional Arab Saudi. Ia mencatat, setelah semua perbatasan Qatar ditutup oleh negara-negara yang memblokade, hubungan dengan Iran sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement