REPUBLIKA.CO.ID, JEPARA – Kementerian Agama (Kemenag) melalui Direktorat Diniyah dan Pondok Pesantren menyelenggarakan Halaqah Pimpinan Pondok Pesantren di Jepara, Jawa Tengah, Sabtu (2/12). Pertemuan para kiai pesantren ini digelar untuk merespons segala permasalahan yang muncul pada zaman sekarang.
"Halaqah ini bertujuan untuk merumuskan format ke depan terkait dengan pengembangan pendidikan pesantren dan bagaimana merespons zaman beserta kebutuhannya," kata Direktur Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Ahmad Zayadi saat menyampaikan materi halaqah. Halaqah ini merupakan rangkaian kegiatan Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) Tingkat Nasional VI Tahun 2017.
Menurut Zayadi, pesan-pesan keagamaan yang ada di pesantren harus disampaikan sesuai dengan konteks zamannya. Karena itu, melalui halaqah ini, diharapkan dapat disiapkan perangkat "zaman now" tersebut.
"Kita ingin menyampaikan pesan pesantren sesuai zamannya, seperti istilah generasi ‘zaman now’, berarti pesan yang disampaikan juga harus menggunakan perangkat ‘zaman now’. Dan itulah yang harus disiapkan," ujar dia.
Pada bagian lain paparannya, Zayadi mengatakan, forum halaqah ini juga mendesak pemerintah daerah (pemda) mengalokasikan anggaran untuk layanan pendidikan diniyah dan pondok pesantren. Menurut dia, Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 mengamanahkan bahwa pemda dapat membiayai penyelenggaraan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.
“Rancangan Undang-Undang (RUU) Lembaga Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren kini telah menjadi tagihan Prolegnas tahun 2018. RUU ini merupakan lex specialis dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Kelahiran UU ini diharapkan dapat memberikan afirmasi dan kehadiran negara secara signifikan untuk pondok pesantren,” kata Zayadi.
Selain itu, lanjut Zayadi, forum ini juga merekomendasikan bahwa Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter menjadi kunci masuk untuk layanan pendidikan diniyah dan pondok pesantren secara lebih luas. Peraturan Presiden ini menjadi bagian dari landasan pentingnya melahirkan RUU Lembaga Pendidikan Keagamaan.
Menurut Zayadi, pesantren telah berperan dalam mengokohkan keindonesiaan. Jika awalnya pesantren merupakan lembaga dakwah maka dalam perkembangannya kemudian berperan sebagai lembaga pendidikan.
“Karena statusnya sebagai lembaga pendidikan, maka pesantren patut didorong menjadi lembaga pendidikan unggulan yang perlu mendapatkan langkah kebijakan regulasi, afirmasi kebijakan, maupun anggaran yang menunjukkan keadilan,” katanya menegaskan.
Dalam halaqah ini juga terungkap fakta minimnya alokasi anggaran pendidikan Islam, yakni baru sekitar 11-12 persen dari total anggaran pendidikan. Total 20 persen APBN yang dialokasikan untuk pendidikan berjumlah sekitar Rp 416 triliun.
Dari jumlah itu, alokasi anggaran layanan pendidkan Islam pusat dan daerah hanya Rp 50,4 triliun (12 persen). Sedangkan, untuk layanan pendidikan sekolah pusat dan daerah sebanyak Rp 308,2 triliun (74,1 persen).
Forum halaqah menilai alokasi anggaran demikian kurang mencerminkan keadilan yang sesungguhnya. Sebab, peserta didik yang mengikuti layanan pendidikan Islam itu separuh lebih dari jumlah peserta didik di sekolah.
Sebelumnya, saat menyampaikan sambutan pada pembukaan MQK, Jumat (1/12), Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin juga mendorong pemda di seluruh Indonesia terus meningkatkan perhatian dan kepedulian terhadap pondok pesanten serta madrasah diniyah.
"Pemerintah daerah sudah seharusnya peduli dengan layanan pendidikan di daerahnya, termasuk pesantren dan madrasah diniyah," ujar Menag.
Untuk itu, Menag meminta pemda menyediakan alokasi anggaran yang cukup untuk pesantren di daerah masing-masing melalui APBD. Sementara, Kemenag, menurut dia, akan terus berupaya meningkatkan alokasi anggaran untuk pesantren melalui APBN. (Pengolah: wachidah handasah).