Senin 04 Dec 2017 05:20 WIB

Potensi Erupsi Gunung Agung Belum Hilang

Rep: Mutia Ramadhani, Muhammad Nursyamsyi/ Red: Elba Damhuri
Berkurangnya Asap Sulfatara. Gunung Agung terlihat dari Pantai Jemeluk, Amed, Bali, Ahad (3/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Berkurangnya Asap Sulfatara. Gunung Agung terlihat dari Pantai Jemeluk, Amed, Bali, Ahad (3/12).

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR – Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menyatakan, konsentrasi gas sulfur dioksida (SO2) Gunung Agung di Kabupaten Karangasem, Bali, menurun jika dibandingkan ketika erupsi eksplosif pada 26-27 November 2017.

“Saat ini nilainya lebih rendah 20 kali lipat,” kata Kepala Subbidang Mitigasi Pemantauan Gunungapi Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana, di Pos Pengamatan Gunung Agung di Desa Rendang, Karangasem, Ahad (3/12).

Menurut Devy, berkurangnya gas SO2 menandakan dua kemungkinan, yakni laju magma yang naik ke permukaan melemah karena kehilangan energi akibat gas magmatik makin berkurang yang pada akhirnya habis dan menuju keseimbangan. Kemungkinan kedua, lanjut dia, terjadinya penyumbatan pada pipa magma sehingga fluida magma yang bergerak ke permukaan terhalang oleh lava di permukaan yang mendingin dan mengeras.

Apabila kemungkinan pertama yang terjadi maka potensi erupsi akan berkurang karena magma kehilangan mobilitasnya. “Bahkan, erupsi-erupsi selanjutnya bisa jadi tidak teramati lagi dalam waktu dekat sampai magma baru suatu saat nanti lahir lagi,” ucapnya.

Namun, jika kemungkinan kedua yang terjadi maka potensi erupsi akan meningkat karena akumulasi tekanan magma bertambah. Sehingga, pada waktu tertentu, ketika lava yang menutupi keluarnya magma kekuatannya lebih rendah dari tekanan yang diakumulasi di bawahnya maka diprediksi erupsi dapat terjadi.

Devy melanjutkan, jika kemungkinan kedua yang terjadi, yakni ada penyumbatan, ada dua hal yang berkaitan dengan masa tenang lama dan pendek. Jika masa tenangnya lama, kata dia, kemungkinan akumulasi tekanannya makin besar, erupsi kemungkinan terjadi lebih eksplosif dari erupsi sebelumnya.

Pada erupsi 1963 lalu, lanjut Devy, terdapat fase istirahat sekitar dua pekan sebelum terjadinya erupsi utama yang mencapai ketinggian sekitar 23 kilometer.

Namun, jika masa tenangnya pendek, kemungkinan akumulasi tekanannya tidak besar, erupsi kemungkinan terjadi dengan eksplosivitas mirip erupsi sebelumnya atau lebih rendah daripada erupsi utama pada 1963.

Adanya pendekatan kemungkinan itu, kata dia, karena para ahli vulkanologi belum bisa menggunakan metode pendekatan yang pasti, mengingat kompleksitas yang dimiliki gunung berapi. “Artinya, meski saya menjelaskan beberapa kemungkinan, bisa jadi Gunung Agung memiliki rencana sendiri yang tidak masuk pada kemungkinan tersebut,” ucapnya.

Semburan SO2 dari Gunung Agung terdeteksi oleh Badan Antariksa Nasional Amerika Serikat (NASA) yang disebutkan pada laman earthobservatory.nasa.gov. Pada laman itu disebutkan SO2 terdeteksi oleh Ozone Mapper Profile Suite pada satelit Suomi National Polar-orbiting Partnership atau satelit Suomi NPP yang mencapai puncak pada 27 November 2017 dan mulai berangsur menurun pada 28 November 2017.

Ahli vulkanologi dari Universitas Teknologi Michigan, Amerika Serikat, Simon Carn, menyebutkan, menurunnya pergerakan SO2 Gunung Agung disebabkan adanya tarikan siklon tropis Cempaka yang membawa gas tersebut menjauh ke arah barat.

Simon mengungkapkan, satelit Suomi NPP juga mencatat SO2 yang dihasilkan total mencapai sekitar 40 ribu ton selama 26-29 November 2017, seperti yang disebutkan dalam artikel terkait kemungkinan Gunung Agung memengaruhi iklim global oleh meteorologis Bob Henson dari Weather Underground.

Ahli vulkanologi lain dari Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, Janine Krippner, pada laman NASA itu mengatakan, menurunnya SO2 merupakan hal normal yang sedikit berfluktuasi.

“Tetapi aktivitas (vulkanik) gunung api belum menurun saat ini,” kata dia.

Kepala PVMBG, Kasbani, menerangkan, asap kawah Gunung Agung pada akhir pekan lalu makin menipis. Meski demikian,aktivitas kegempaan menerus atau //tremor overscale// masih berlangsung.

“Hari ini terpantau asap kawah bertekanan lemah berwarna putih dengan intensitas tipis hingga sedang setinggi 500-1.000 meter di atas puncak kawah,” kata Kasbani, Ahad.

Sejak pukul 00.00-06.00 WITA kemarin, Gunung Agung menunjukkan aktivitas tiga kali gempa frekuensi rendah berdurasi 20-40 detik. Gunung yang oleh masyarakat Bali disebut Hyang Tohlangkir itu juga empat kali menunjukkan gempa vulkanik dangkal berdurasi 7-20 detik, delapan kali gempa vulkanik dalam berdurasi 18-65 detik, dan dua kali gempa tektonik lokal berdurasi 90-100 detik. Tremor menerus dengan amplitudo satu hingga dua milimeter berdurasi 90-100 detik terus terjadi.

Di Lombok Tengah, General Manager Bandara Internasional Lombok, I Gusti Ngurah Ardita, mengatakan, Bandara Internasional Lombok masih beroperasi normal pada Ahad pagi. Sebelumnya, bandara yang berada di Praya, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), tersebut sempat ditutup pada Jumat (1/12) pukul 06.00 WITA hingga 08.50 WITA akibat sebaran abu vulkanis Gunung Agung di Bali.

"(Bandara) sudah beroperasi normal selama dua hari ini,” ujar I Gusti Ngurah Ardita, Ahad.

Meski begitu, kata Ardita, manajemen Bandara Internasional Lombok masih terus melakukan beberapa langkah antisipasi terkait aktivitas Gunung Agung. Bandara Internasional Lombok masih membuka posko pelayanan terpadu yang berada di lobi terminal yang menjadi pusat tempat informasi bagi para jasa pengguna kebandarudaraan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement