Senin 04 Dec 2017 15:16 WIB

Curhatan Ibu Negara Ini Ungkap Konflik di Afghanistan

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Agus Yulianto
Ibu Negara Afghanistan, Rula Ghani (berkerudung) menghadiri simposium nasional peran ibu untuk perdamaian.
Foto: dok. Kemenag.go.id
Ibu Negara Afghanistan, Rula Ghani (berkerudung) menghadiri simposium nasional peran ibu untuk perdamaian.

REPUBLIKA.CO.ID, Ibu Negara Afghanistan Rula Ghani menjadi salah satu pembicara dalam acara Simposium dengan tema Peran Ibu dalam Membangun Perdamaian, yang digelar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Dalam pertemuan yang dihadiri ratusan perempuan dari berbagai kalangan ini, Rula Ghani pun menceritakan mengenai kondisi sosial di Afghanistan.

Rula menuturkan, topik bahasan yang kita diskusikan hari ini sangat mengena di hatinya. Dia sangat percaya bahwa perempuan memiliki peran penting di dalam masyarakat. Ia pun meyakini, bahwa setiap manusia di dunia ini memiliki hak yang sama untuk hidup dalam penuh kedamaian.

Rula menjelaskan, bahwa dia lahir dan tumbuh pada masa keemasaan Timur Tengah, tepatnya 68 tahun yang lalu. Kawasan ini sangat nyaman untuk ditinggali karena masyarakatnya yang hidup berdampingan dalam kedamaian, berusaha memperbaiki taraf kesejahteraan hidupnya dan meyakini adanya masa depan yang lebih makmur di kemudian hari.

Namun kemudian, muncul tahun-tahun di mana berlangsungnya konflik dan perang. Kelompok masyarakat yang selama ini telah hidup berdampingan satu sama lain selama berabad-abad seketika bersumpah menjadi musuh. Perbedaan etnis, budaya dan agama yang selama ini memperkaya masa muda saya scketika menjadi alasan bagi terjadinya konfrontasi dan perang sengit.

"Sampai dengan hari ini, kehancuran itu terus berlangsung, masyarakat telah hancur, dan harapan bagi masa depan yang lebih baik semakin menjauh," ujar Rula, Senin (4/12).

"Tengoklah Suriah yang memiliki begitu banyak kota, saat ini, telah hancur sepenuhnya," lanjut Rula. Kemudian lihatlah Yaman di mana jutaan orang sekarat karena sulitnya akses untuk makanan dan pengobatan. Lihat pula Libiya di mana masyarakat sekarang terbagi-bagi, sehingga kekacauan terjadi dan praktik tidak manusiawi seperti perbudakan muncul kembali pada saat ini.

Perang yang terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah merupakan kutukan. Tidak hanya menghancurkan lingkungan di mana masyarakat hidup dan tinggal, hal ini juga sangat mempengaruhi moral masyarakatnya. Ketika mereka hidup dalam suasana peperangan dan ketidakpastian, maka akan ada yang terobsesi dengan kelangsungan hidup diri mereka sendiri.

Sebab, setiap keputusan yang diambil akan membedakan antara hidup dan mati. Oleh karena itu, banyak masyarakat sudah tidak peduli dengan apa yang benar dan apa yang salah, tidak memikirkan nasib komunitas.

Rula menjelaskan, masyakarat yang tinggal di kawasan perang terdiri dari individu yang akan melakukan apapun, dengan tujuan untuk bertahan hidup meskipun harus membahayakan komunitasnya.

"Ini lah yang membuat kami sangat menginginkan perdamaian. Kami, orang-orang yang terdampak oleh adanya konflik dan perang, harus menyatukan suara kami dan melawan kehancuran bagi kehidupan dan masa depan kami. Kami perlu untuk menyatakan hak mendasar untuk hidup dalam kedamaian," ujarnya.

Terlebih wajah peperangan semakin nyata dan dikhawatirkan tidak mengalami perubahan. Hal ini didorong karena jual beli senjata yang mengalami peningkatan efisiensi dan ketersediaan di pasar dunia. Itu memungkinkan bagi pemimpin kelompok perang kecil hingga kelompok besar untuk menimbulkan kehancuran yang tidak dapat diperbaiki baik terhadap komunitas mereka maupun secara lebih luas. Era globalisasi mempermudah pertumbuhan jaringan global yang mendukung semua peperang ini.

"Ini lah yang kita saksikan hari ini di Afghanistan. Setelah empat dekade berbagai kontlik dan perang sipil, negara ini sedang menghadapi dua puluh kelompok bersenjata, dengan berbagai tingkat dukungan transnasional yang melancarkan sebuah perang gerilya, mencoba untuk mcmaksakan agenda mereka kepada rakyat Afghanistan," papar Rula.

Dia sangat sedih dengan kondisi negaranya saat ini. Afghanistan sudah terlalu lama dan seharusnya cukup dengan ketidakamanan, ketidakpastian, dan banyak serangan kekerasan ekstream yang terus mengguncang stabilitas negara. Masyarakat Afghanistan telah merindukan perdamaian, merindukan kehidupan yang dapat berjalan dengan normal. Namun, di saat yang bersamaan di antara mereka sendiri, sesama rakyta Afghanistan masih terjadi kekerasan yang dipupuk oleh konflik menahun.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement