REPUBLIKA.CO.ID, Rabu malam, 29 November 2017, menjadi catatan sejarah baru bagi warga Kabupaten Pacitan, Jawa Timur, karena banjir bandang melanda hampir di seluruh bagian daerah tersebut. Bukan hanya karena air bah itu saja yang membuat warga terhenyak, namun juga disebabkan selama puluhan tahun masyarakat setempat tak pernah mengalami musibah sedahsyat itu.
Apalagi, 85 persen topografi kampung halaman mereka merupakan bagian dari pegunungan seribu yang membujur di selatan Pulau Jawa. Berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian rata-rata 500-1.000 meter di atas permukaan laut, banjir hampir tak mungkin terjadi di Pacitan.
Namun, hujan lebat yang mengguyur kabupaten tersebut dan beberapa wilayah lainnya di Jawa Tengah selama tiga hari tanpa henti yang merupakan dampak dari badai siklon Cempaka menaikkan volume air permukaan hingga tak mampu lagi ditampung oleh saluran-saluran alam dan buatan, bahkan menjebolkan tanggul yang berada di Kota Pacitan.
Akibat banjir di Pacitan, 11 orang meninggal dunia dan ribuan warga terpaksa mengungsi ke daerah-daerah yang lebih tinggi. Mereka harus rela meninggalkan harta benda berupa sawah, ladang serta hewan ternak yang tersapu air bah bercampur lumpur dan bebatuan.
Goa purbakala
Secara geologi, Pacitan yang merupakan bagian dari pegunungan seribu di Jawa bagian selatan tersusun oleh batu gamping yang mudah larut oleh air hingga membentuk lubang-lubang dan celah pada bebatuan. Air yang terus menerus menggerus pegunungan gamping itu dan pelarutan yang disebabkan oleh reaksi kimia antara kalsium karbonat penyusun gamping dan air sejak Kala Miosen pada 23-5 juta tahun yang lalu.
Pegunungan ini membentuk bentang alam karst yang terdiri atas perbukitan berbentuk kerucut, cerukan dan goa-goa dengan sungai-sungai bawah tanah yang mengalir di dalamnya. Ada beberapa gua besar di Pacitan, antara lain Gua Tabuhan, Gua Gong, Gua Luweng Ombo, dan Gua Song Terus.
Manusia prasejarah tiba di Pulau Jawa pada 1,6 juta tahun yang lalu. Sisa-sisa kehidupannya ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah yang dikenal dengan nama Kubah Sangiran.
Bagi manusia prasejarah yang hidup dengan peralatan sederhana, gua merupakan rumah yang paling nyaman karena dapat melindungi mereka dari panas, hujan dan serangan binatang buas. Sungai-sungai bawah tanah juga merupakan sumber air bagi kehidupan manusia kala itu.
Salah satu gua yang merekam jejak-jejak manusia purba dalam kondisi pengawetan yang cukup baik di Pacitan adalah Goa Song Terus yang terletak di Dusun Weru, Desa Wareng, Kecamatan Punung.
Penggalian pada 1994 oleh tim dari Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Arkeologi Nasional bekerja sama dengan Museum Sejarah Alam Perancis menemukan kerangka manusia berusia 300 ribu tahun.
Sekitar 20 meter di bawah permukaan gua mengalir sungai-sungai bawah tanah yang menjadi saluran air alamiah hingga berujung di Samudera Hindia di bagian selatan Pacitan.
Saat hujan deras tumpah di Pacitan, tiga sungai bawah tanah yang berada di Gua Song Terus menjadi penampung utama air, yakni Kali Kiyut, Kali Banjar dan Kali Tabuhan.
Namun, tatkala hujan deras selama sepekan yang terjadi pada akhir bulan November ini, sungai-sungai itu tak mampu lagi menampung air yang melewatinya hingga akhirnya air bah tumpah dari mulut gua selebar sekitar 15 meter pada Rabu (29/11). Hujan deras yang tak kunjung berhenti ditambah air permukaan yang kesulitan mendapatkan salurannya semakin memperparah banjir.
Air yang keluar dari Gua Song Terus yang berada relatif di kaki bukit terus meninggi hingga pada malam hari dan menenggelamkan sejumlah desa di sekitarnya yang terletak beberapa ratus meter di atas gua yang pada 1994 ditetapkan sebagai situs purbakala.
"Ini peristiwa yang luar biasa. Kami belum pernah lihat air keluar dari dalam goa dalam jumlah banyak seperti malam itu," ujar Widodo, seorang warga Dusun Weru.
Banjir yang melanda Pacitan sempat memutuskan beberapa ruas jalan yang menghubungkan kabupaten tersebut dengan daerah tetangganya, seperti Wonogiri, Jawa Tengah. Banjir bandang yang membawa lumpur dan bebatuan juga merusak jalan-jalan antardesa dan fasilitas penerangan di sepajang jalan, serta merubuhkan rumah-rumah warga.
Menurut juru pelihara situs Goa Song Terus, Suroto, air bah membawa endapan lumpur dan bebatuan hingga terlampar di depan pagar situs. "Tapi area penggalian arkeologi di dalam gua masih bagus," kata Suroto yang berasal dari Desa Wareng.
Namun, tambahnya, banjir telah menghancurkan lahan pembangunan museum prasejarah yang sedang dibangun, tepat di seberang jalan di mana Goa Song Terus berada. Pembangunan museum tersebut sejauh ini masih berupa pondasi dengan beberapa tiang penyangga.
Suroto belum mengetahui kapan proyek itu akan selesai. "Pembangunannya bergantung dana yang tersedia dari pemerintah," ujarnya.
Walau bangunan museum belum rampung, situs Goa Song Terus telah memiliki bangunan galeri yang dibangun tak jauh dari goa meskipun belum difungsikan. Nantinya galeri ini memajang replika dari temuan arkeologi di Goa Song Terus.
Kepala Desa Wareng, Purwo Widodo berharap pembangunan museum arkeologi itu dapat terus dilanjutkan sehingga rencana menjadikan desanya sebagai desa wisata dapat segera terwujud. "Lokasi wisata ini juga akan memberi manfaat pendidikan dan ekonomi bagi warga karena pasti akan menawarkan banyak lapangan kerja terbuka buat masyarakat," ujarnya.