REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Ketika pemberontakan mulai populer di Timur Tengah pada 2011, orang-orang di Yaman, negara termiskin di dunia Arab, juga memutuskan untuk melakukan demonstrasi massal. Mereka berusaha melawan tiga dekade pemerintahan Presiden Ali Abdullah Saleh.
Saleh telah memimpin Yaman Utara sejak 1978, sebelum menyatukan wilayahnya dengan wilayah selatan pada 1990. Namun, pada 2011, banyak yang merasa pemerintahan Saleh hanya berjalan untuk memenuhi kepentingannya sendiri, sehingga mereka menuntut perubahan.
Ratusan ribu warga Yaman memenuhi jalanan dalam dua bulan pertama di 2011. Mereka melakukan demonstrasi untuk menentang kemiskinan dan pengangguran.
Setelah demonstrasi berlangsung selama berminggu-minggu, seruan para pemrotes meningkat dari hanya menuntut reformasi pemerintahan menjadi seruan agar Saleh mengundurkan diri. Mereka menuduh Saleh salah mengatur perekonomian dan melakukan korupsi.
Masa-masa itu masa Yaman mengalami pergolakan ekonomi terbesar. Inflasi meningkat, begitupun dengan angka pengangguran. Uang dari cadangan minyak di negara tersebut telah disia-siakan atau dicuri.
Menurut sebuah laporan PBB pada 2015, Saleh telah mengumpulkan kekayaan senilai 60 miliar dolar AS dari korupsi, pemerasan, dan penggelapan uang. Agar tetap bertahan hidup, Yaman mengandalkan bantuan dari AS, serta bantuan dari negara-negara tetangganya.
Pada awal 2011, demonstrasi yang dipimpin mahasiswa di ibu kota Sanaa, dengan cepat menyebar ke kota-kota lain, termasuk Aden dan Taiz. Protes tersebut memicu tindakan keras dari pasukan pemerintah yang mengakibatkan terbunuhnya 50 orang.
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement