Selasa 05 Dec 2017 18:15 WIB

Mengenal Sosok Abu Hanifah

Rep: mg02/ Red: Agung Sasongko
Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir
Foto: saharamet.org
Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Makin jauh dari masa Rasulullah SAW dan makin luas daerah- daerah yang mengenal Islam, makin luas pula perkembangan ilmu keislaman. Perkembangan di sini diartikan dalam hal yang positif, bukan perkembangan yang keluar dari garis besar tuntunan Islam.

Misalnya, dahulu pada zaman Rasulullah dan sahabatnya, huruf-huruf Alquran ditulis tanpa menggunakan harakat dan titik. Setelah orang-orang non-Arab mengenal Islam, penulisan huruf-huruf Alquran lebih disederhanakan dengan menambahkan titik pada huruf-huruf yang hampir sama, lalu pada masa berikutnya ditambahkan harakat. Yang demikian dimaksudkan agar orang-orang non-Arab mudah membacanya.

Demikian juga dalam permasalahan agama secara umum, para sahabat dimudahkan dalam memahami Islam karena mereka bisa bertanya langsung dengan Rasulullah SAW dan para tabi'in bisa bertanya kepada para sahabat.

Adapun orang-orang setelah mereka, dengan penyebaran Islam yang luas membutuhkan penyederhanaan yang lebih mudah dipahami akal pikiran mereka. Orang pertama yang melakukan usaha besar menyederhanakan permasalahan ini adalah imam besar yang kita kenal dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah. Ia menyusun kajian fikih dan mengembangkannya demi kemudahan umat Islam.

Sebagaimana orang-orang lebih mengenal Imam Syafii daripada nama aslinya, yaitu Muhammad bin Idris. Jarang juga orang yang tahu bahwa nama Imam Abu Hanifah adalah Nu'man bin Tsabit bin Marzuban, kun-yah-nya (nama panggilan) Abu Hanifah.

Ia adalah putra dari keluarga Persia (bukan orang Arab). Asalnya dari Kota Kabul (se karang ibu kota Afghanistan). Kakeknya, Marzuban, memeluk Islam pada masa Umar bin Khattab, lalu hijrah dan menetap di Kufah.

Imam Abu Hanifah dilahirkan di Kufah pada 699 M. Ayahnya, Tsabit, adalah seorang pebisnis yang sukses di Kota Kufah. Karena itu, tidak heran kita me ngenal Imam Abu Hanifah sebagai seorang pebisnis yang sukses pula mengikuti jejak sang ayah.

Jadi, ia tumbuh di dalam keluarga yang saleh dan kaya. Di tengah tekanan peraturan represif yang diterapkan gubernur Irak Hajjaj bin Yusuf, Imam Abu Hanifah tetap menjalankan bisnisnya menjual sutra dan pakaian-pakaian lainnya sambil mempelajari ilmu agama.

Sebagaimana kebiasaan orang-orang saleh lainnya, Abu Hanifah juga telah menghafal Alquran sedari kecil. Pada masa remaja, Imam Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit mulai menekuni belajar agama dari ulama terkemuka di Kota Kufah. Ia sempat berjumpa dengan sembilan atau 10 orang sahabat Nabi, semisal Anas bin Malik, Sahal bin Sa'd, Ja bir bin Abdullah, dan lainnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement