REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bos First Travel Andika Surachman berkeinginan asetnya yang disita polisi dijual untuk membiayai jamaah umrah yang belum berangkat. Namun, polisi memastikan keputusan itu tergantung pengadilan.
"Nanti dulu, itu kan hitungannya sebagai barang bukti. Nanti itu kan tergantung jaksa maupun hakim," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (6/11).
Setyo pun mengakui jika barang bukti yang disita merupakan milik masyarakat. "Kemudian barang bukti apa, barang buktinya ya setoran uang, memang bukan milik negara itu, miliknya masyarakat," kata dia mengungkapkan.
Menurut Setyo, pada persidangan, hakimlah yang akan memutuskan barang bukti berupa aset nantinya dikembalikan kepada terdakwa, kepada negara, atau kepada yang berhak, dalam hal ini korban. Kalau misalnya diputuskan aset dikembalikan kepada jamaah, pengadilan juga yang bakal memutuskan rincian atau mekanisme pengembalian aset.
"Biasanya dalam persidangan nanti diputuskan barang bukti dikembalikan kepada terdakwa atau disita untuk negara untuk dikembalikan ke yang berhak. Nanti berapa orang, terima berapa, itu namanya putusan tambahan," kata Setyo menjelaskan.
Sementara itu, untuk aspek pasal pidana umumnya, menurut Setyo, hal tersebut menjadi ranah kejaksaan. Kepolisian masih menunggu kejaksaan dalam meneliti berkas yang telah dilimpahkannya.
Keinginan Andika menjual aset yang disita untuk membiayai jamaah umrah yang belum berangkat itu diungkapkan dalam persidangan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kemarin. Pada persidangan, Andika berjanji untuk memberangkatkan jamaah umrah korban Fist Travel.
Ia berniat memberangkatkan jamaah dengan menjual aset yang disita polisi. Namun, hal ini juga masih diragukan polisi. Pasalnya, jumlah barang bukti yang disita polisi hanya bekisar Rp 40 miliar. Padahal, First Travel harus memberangkatkan jamaah dengan harga sekitar Rp 900 miliar.