Rabu 06 Dec 2017 19:15 WIB

Kejujuran Ka'ab bin Malik

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Kejujuran (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Kejujuran (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Ada sekitar 80 orang Madinah yang tidak berangkat dalam Perang Tabuk. Kebanyakan mereka adalah kaum munafik yang enggan bertungkus-lumus memperjuangkan Islam. Bagaimana bisa Ka'ab bin Malik tertinggal? Semua berawal dari keteledoran penyair itu dalam menata waktunya.

Ka'ab menceritakan, Rasulullah SAW dan rombongan pasukan Muslim berangkat dari Madinah ketika suasana masih rindang. Saat itu, mereka semua sudah dalam kondisi siap-sedia. Sementara, Ka'ab dan segelintir lelaki Madinah lainnya masih belum mempersiapkan diri.

Aku berkata dalam hati, 'Aku bisa melakukannya (bersiap ke medan perang) kapan pun aku mau.' Begitulah keengganan terus menyergapku, sementara orang-orang terus berbenah dengan serius. Maka, pada pagi harinya, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin yang bersamanya berangkat perang, sedangkan aku belum melakukan persiapan apa-apa, kata Ka'ab tulis as-Suhaibani. 

Keengganan itu berlangsung sekitar tiga hari berturut-turut. Maka, laki-laki yang tersisa di Madinah hanyalah dari kalangan lansia, kaum munafik yang memang benci berjuang di jalan Allah, dan kalangan yang hatinya terombang-ambing seperti Ka'ab bin Malik. Padahal, saat itu Ka'ab baru saja membeli hewan tunggangan baru, sehingga tidak bisa dikatakan memiliki uzur.

Singkat cerita, Perang Tabuk usai dan pasukan Muslimin yang dipimpin Rasulullah kembali ke Madinah. Seperti biasa, sepulang dari pertempuran, Rasul mengumpulkan kaum Muslimin di masjid. Ketika itulah mereka yang urung ikut Perang Tabuk mendatangi Rasulullah untuk menuturkan alasan-alasannya.

Ka'ab mengenang jelas peristiwa itu. Dia merasa bisa saja berdalih macam-macam di hadapan Rasulullah SAW dan jamaah. Namun, kesedihan merundung dirinya.

Hilanglah dari diriku segala pikiran yang batil hingga aku benar-benar mengetahui bahwa aku tidak akan selamat dari beliau dengan cara dusta selamanya. Maka aku bertekad bersikap jujur kepada beliau.

Ka'ab menuturkan, saat melihat wajah Rasulullah tersenyum dengan senyuman orang yang marah. Rasul berkata, Kemarilah. Apa yang membuatmu tidak ikut? Bukankah kamu telah membeli kendaraanmu?

"Benar, sesungguhnya saya, demi Allah, seandainya saya duduk menghadap orang selain Anda, saya yakin akan lolos, karena saya telah diberi kemampuan mendebat. Tapi, jika hari ini saya menceritakan kepada Anda cerita dusta, yang dengannya Anda bisa merelakan saya, tentu Allah akan menjadikan Anda murka terhadap saya."

Dan apabila saya menceritakan kepada Anda cerita benar, pasti karenanya Anda akan murka terhadap saya. Sesungguhnya, dengan kejujuran itu saya mengharapkan pemberian maaf dari Allah, jawab Ka'ab.

Sanksi

Rasulullah pun mengakui kejujuran Ka'ab. Namun, sejak saat itu hingga 50 hari penuh berikutnya, Rasul melarang kaum Muslim berkomunikasi dengan Ka'ab. Dua Muslim lainnya, yang pernah ikut dalam Perang Badar, juga mengalami nasib serupa Ka'ab.

Selama 50 hari itu, Ka'ab merasa hidupnya tersiksa sangat berat. Rasulullah  enggan melihat wajahnya. Seluruh kaum Muslim menghindari menjawab salamnya. Dalam kondisi demikian, Ka'ab menerima surat dari Raja Ghassan, salah satu pentolan kaum musyrik.

Dalam surat itu, Raja Ghassan mengajak Ka'ab bergabung dengannya lantaran Rasulullah sendiri sudah mengeksklusi Ka'ab. Bahkan, Rasulullah juga sempat memerintahkan ketiga pria itu, termasuk Ka'ab, menjauhi istri mereka masing-masing. Namun, jawaban Ka'ab untuk surat dari Raja Ghassan itu jelas: begitu surat itu selesai dibacanya, Ka'ab langsung melempar surat itu ke tungku api.

Demikianlah kesabaran dan keteguhan iman Ka'ab diuji. Begitu gembira hati Ka'ab ketika masa 50 hari itu usai. Saat itu, mereka bertiga diterima Rasulullah di masjid.

Ketika aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, beliau bersabda dengan wajah yang berseri-seri karena gembira. 'Bergembiralah dengan hari terbaik yang terbaik yang pernah melewati hidupmu semenjak kamu dilahirkan oleh ibumu.' Apabila Rasulullah bergembira, wajahnya bersinar seolah-olah wajah beliau secerah rembulan.

Kemudian, turunlah surah at-Taubah ayat 117-119. Ayat ke-118, Allah menyebutkan ihwal tiga pria Madinah ini, termasuk Ka'ab bin Malik. Betapa suka cita perasaan Ka'ab mengetahui Allah tidak memasukkannya ke dalam golongan orang-orang fasik, yang sengaja meninggalkan gelanggang jihad dengan pelbagai dalih. Buah kejujurannya adalah diterimanya taubat Ka'ab oleh Allah.

Tidak ada sesuatu pun yang lebih menyedihkanku daripada aku mati lalu Rasulullah tidak sudi menshalatiku atau Rasulullah meninggal dunia sehingga aku tetap diperlakukan demikian (dieksklusi) oleh masyarakat, kata Ka'ab.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement