REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar mengatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu membuat sejumlah aturan teknis terkait hilangnya hak pilih warga yang berpindah domisili saat Pemilu 2019. KPU juga diharapkan melatih kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) agar dapat menyampaikan teknis hilangnya hak pilih warga tersebut dengan tepat.
Fritz berpendapat, aturan dalam pasal 384 ayat 4 UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 tersebut bukan merupakan bentuk penghilangan hak pilih warga. "Hal tersebut sesuai dengan bahasa undang-undang bahwa jika warga pindah dari satu TPS ke TPS lain, atau pindah dari satu kabupaten ke kabupaten lain ada konsekuensinya. Misalnya saja, dia tidak bisa memilih calon anggota DPRD kabupaten tempat tinggal asalnya. Jadi seperti itulah yang perlu ditata ya," ujar Fritz kepada < i >Republika.co.id< /i > di Jakarta, Rabu (6/12).
Menurut Fritz, aturan ini harus diberlakukan karena sudah tertuang dalam UU. Karena itu, hal ini wajib menjadi perhatian bagi masyarakat maupun bagi petugas KPPS. Fritz menyarankan KPU membuat sejumlah aturan teknis untuk menjabarkan secara rinci ketentuan perpindahan warga ini, beserta dampaknya.
"Harus ada penjelasan secaraadministratif sebab kertas suara harus disesuaikan jumlah pemilih di daerah masing-masing. Kalau peraturan KPU (PKPU)-nya (PKPU penyusunan dapil) sudah dibahas, tetapi bagaimana nanti KPU mewujudkan teknisnya saya kira harus lebih banyak aturan teknis yang dibuat, misal dala bentuk surat edaran (SE) KPU. Selain untuk memberi pengarahan kepada KPPS, SE juga penting untuk distribusi surat suara (sesuai status domisili)," katanya.
Sebelumnya, Komisioner KPU, Viryan, mengatakan warga yang pindah tempat tinggal ke lain provinsi akan kehilangan beberapa hak pilihnya dalam Pemilu serentak 2019. Peraturan hak pilih untuk Pemilu mendatang berbeda dengan aturan pada Pemilu 2014 lalu. Viryan menuturkan, aturan tersebut berdasarkan pasal 348 ayat 4 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
"Pada2014 jika seseorang pindah domisili maka dia tetap mendapat surat suara yang sama. Nah kalau sekarang (2019) disesuaikan dengan kemana pindahnya," ujarnya kepada wartawan usai memberi materi dalam uji publik penyusunan data pemilih Pemilu 2019 di kawasan Petojo, Jakarta Pusat, Selasa (5/12).
Meski demikian, bukan berarti warga tidak boleh melakukan pindah tempat tinggal. Warga tetap boleh pindah dan tetap bisa menggunakan hak pilihnya dengan sejumlah ketentuan.
Pertama, kata Viryan, jika warga pindah domisili ke daerah lain yang masih satu daerah pemilihan (dapil) menjelang hari H pemungutan suara, maka dia bisa menggunakan formulir A5 (keterangan pindah domisili) dan tetap mendapat lima surat suara. Lima surat suara tersebut untuk memilih DPRD II (kabupaten/kota), DPRD I (provinsi), DPR RI, DPD dan capres-cawapres.
Kedua, jika warga pindah domisili dari dapil kabupaten/kota maka dia hanya menerima empat surat suara (DPRD I, DPR RI, DPD, Capres-Cawapres."Tetapi kalau warga pindah ke luar provinsi, maka dia hanya dapat satu surat suara yakni untuk memilih capres-cawapres. Jadi, misal si A memiliki KTP-el di Jakarta dan sebelumnya tinggal di Jakarta, lalu pada H-30 sudah lapor akan memilih misalnya di Kalimantan, maka dia hanya mendapatkan satu surat suara saja, " ungkap Viryan.