REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mihrab kini hampir selalu hadir dalam arsitektur masjid. Keberadaannya sudah diterima oleh umum menjadi bagian dari masjid, yakni sebagai penanda arah kiblat. Karena itu, letak mihrab menjorok ke dalam di bagian depan ruangan masjid.
Mihrab menjadi tempat imam dalam memimpin dalam shalat berjamaah. Dalam bahasa Arab, kata mihrab berarti melawan atau berperang. Beberapa sejarawan menganggap, istilah ini lebih berasal dari Persia. Yaitu, lubang yang tidak tembus atau cekungan (niche) pada kuil Mithraistik.
Secara harfiah, menurut Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (IBVH), kata mihrab berarti gedung yang tinggi. Sebagian ulama berpendapat, mihrab sebagai tempat memerangi setan dan hawa nafsu. Menurut mereka, mihrab berakar dari kata al-hurba yang berarti peperangan.
Ada pula yang menyatakan, ceruk atau ruangan dalam masjid itu dinamakan mihrab. Karena, dalam tempat itu kebenaran manusia dapat ditempa dalam upaya menghindarkan diri dari kesibukan duniawi. Namun, Dr Muhammad Taqi-ud-Din Al-Hilali dan Dr Muhammad Muhsin Khan punya definisi tentang kata mihrab. Dalam cetakan Alquran King Fahd Complex, Saudi Arabia, keduanya mendefinisikan mihrab sebagai tempat shalat kecil atau ruang privasi, bukan arah atau penunjuk tempat shalat, apalagi tempat imam memimpin shalat.
Selain memiliki beragam pengertian, kehadiran bagian interior masjid itu pun tak seutuhnya disepakati umat Islam. Ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarang kehadiran mihrab di dalam masjid karena tak pernah dicontohkan Rasulullah SAW.
Dalam Alquran, kata mihrab disebut sebanyak tiga kali. Berikut salah satu petikan ayat: ''Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.'' (QS Ali Imran (3): 37).
Kata mihrab juga terdapat pada hadis yang diriwayatkan HR Baihaqi. Para ulama Hanafiah menjadikan hadis ini sebagai dasar mengapa ada mihrab dalam masjid. Mereka membolehkan mengadakan mihrab dalam bentuk apa pun, baik berupa cekungan, lubang yang tidak tembus (misykat), atau ruang imam. Beberapa ulama memiliki interpretasi lain pada hadis tersebut, karena memang pada zaman Rasulullah SAW tidak terdapat mihrab, tetapi sutrah (tanda atau dinding kiblat). Mereka lebih mengartikan kata mihrab dalam hadis ini semata-mata sama dengan kata mushala (tempat shalat), seperti istilah mihrab dalam Alquran daripada sebagai ruang imam atau tanda untuk arah kiblat (Mashalihul Mursalah).