REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada surat tuntutannya meminta kepada majelis hakim untuk mencabut sebagian hak politik Gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti akibat perbuatan korupsinya. JPU menuntut Ridwan Mukti dan istrinya Lily Martiani Maddari dengan hukukan penjara selama 10 tahun.
Jaksa Penuntut Umum KPK Khaerudin dalam persidangan Tipikor di Pengadilan Negeri Kota Bengkulu, Kamis, meminta majelis hakim mencabut hak Ridwan Mukti untuk dipilih dalam ajang pemilu. "Dia gubernur, namun sesuai fakta persidangan terbukti berbuat korupsi meminta dan menerima uang Rp1 miliar dari kontraktor," kata Khaerudin, Kamis (7/12).
Tuntutan pencabutan hak politik selama lima tahun itu melengkapi tuntutan pidana kurungan dan denda yang dibebankan kepada Ridwan Mukti akibat perbuatannya. "Cuma hak untuk dipilih, untuk memilih tetap bisa, kami merasa ganjaran ini adil," ucapnya.
Jaksa Penuntut Umum KPK menuntut Gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti beserta istri Lily Martiani Maddari dengan pidana 10 tahun karena dinilai terbukti menerima dan meminta uang senilai Rp1 miliar dari kontraktor terkait proyek pembangunan jalan di Provinsi Bengkulu.
"Terdakwa ini tidak punya niat baik di persidangan dan menyangkal perbuatan yang nyatanya terbukti di fakta persidangan. Selain itu, mereka berbeda dengan Rico (pengusaha yang turut ditangkap), dia perantara," kata Khaerudin.
Selain tuntutan 10 tahun pidana kurungan, Ridwan dan Lily juga dibebankan denda Rp400 juta atau subsider empat bulan kurungan. Ridwan dan Lily diyakini melanggar Pasal 12 huruf a dan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Rujito merasa keberatan pencabutan hak politik dari kliennya juga masuk dalam surat tuntutan jaksa. "Tentu kami keberatan, karena hak politik secara konstitusional kan tidak bisa dicabut," ujarnya.