REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Amerika Serikat Donald Trump, pada Rabu (6/12), secara resmi mengakui bahwa Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump juga menginstruksikan Departemen Luar Negeri AS untuk memulai persiapan memindahkan Kedutaan AS di Israel ke Yerusalem dari Tel Aviv.
Menanggapi itu, Ketua Persekutuan Gereja Seluruh Indonesia (PGI), Albertus Patty, mengatakan, pihaknya menyesalkan keputusan dari Trump yang dinilai sepihak tersebut. Menurutnya, keputusan Trump itu telah meninggalkan pendekatan dialog yang selama ini terjadi.
Selain itu, dia menilai, keputusan tersebut telah mengabaikan hak -hak bangsa Palestina dan bisa meningkatkan eskalasi ketegangan masyarakat di wilayah Yerusalem.
"Keputusan Trump itu melukai hati bangsa Palestina dan bisa meningkatkan kemarahan semua umat beragama yang ada di sana. Bagi PGI, keputusan Trump ini sangat memperlihatkan penindasan terhadap bangsa Palestina. "Oleh karena itu, PGI sangat tidak setuju sekali," kata Albertus, saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (8/11).
Albertus mengatakan, PGI sudah berkirim surat kepada seluruh gereja, termasuk gereja di Palestina dan Dewan Gereja Dunia. Menurutnya, gereja di Palestina dan di negara-negara Arab juga tidak setuju serta mengecam keputusan sepihak Trump tersebut. Gereja di Palestina sendiri, menurutnya, sudah mengirim surat kepada Trump yang berisi pernyataan penyesalan mereka akan keputusan AS itu.
Albertus mengakui, bahwa Yerusalem adalah wilayah milik Palestina. Namun, saat kaum Yahudi datang dan mendirikan negara Israel, Inggris melalui deklarasi Balfour telah membagi-bagi wilayah di sekitar Yerusalem tersebut. Karena itu, kalaupun Yerusalem ingin dimiliki Israel, ia menekankan, agar Israel melakukannya melalui dialog dan negosiasi damai.
"Yerusalem itu tempat semua beragama di sana. Kelompok Islam dan Kristen Palestina pasti akan berjuang untuk membebaskan Yerusalem dari aneksasi Israel. Karenanya, jauh lebih baik jika Trump tidak melakukan itu," lanjutnya.
Albertus lantas menjelaskan soal perbedaan kelompok dalam agama Kristen dalam memandang soal Yerusalem. Ia mengatakan, ada dua kelompok dalam agama Kristen, yakni kelompok fundamentalis dan non-fundamentalis.
Menurutnya, kelompok fundamentalis percaya bahwa Nabi Isa atau Yesus akan turun di Yerusalem. Mereka juga berpandangan, kedatangan Nabi Isa itu tidak akan terjadi sepanjang Yerusalem belum menjadi ibukota dari Israel. Apalagi, kaum fundamentalis Kristen ini memiliki tafsiran atau literalis dari kitab mereka yang mengatakan bahwa Yerusalem adalah milik Israel.
"Banyak kaum fundamentalis di Amerika Serikat dan mungkin Donald Trump itu salah satunya, mereka semacam meyakini bahwa Yerusalem menjadi ibukota Israel itu akan menjadi awal dari akhir zaman," ujarnya.
Berbeda halnya dengan kaum non-fundamentalis, menurutnya, mereka berpikir untuk tidak melakukan tindakan yang hasilnya menindas bangsa lain. Karena itu, ia menghimbau, agar umat Kristen kembali menginterpretasikan kitab suci dengan baik. Ia mengatakan, interpretasi kitab juga harus didasarkan pada kemaslahatan bagi semua orang dan tidak ada satu pun kaum yang ditindas.
Albertus juga menyampaikan rasa prihatinnya terhadap kondisi dan nasib bangsa Palestina. Dia menilai, posisi Palestina saat ini tengah lemah. Hal itu dilihat dari kedekatan yang terjalin antara Arab Saudi dan Amerika Serikat serta Israel. Selain itu, konflik antara aliran dalam Islam di negara-negara Arab juga dinilai telah melemahkan Palestina.
"Makin lama, rakyat Palestina semakin merasa sendirian. Jika dulu Palestina adalah alasan bagi bersatunya bangsa Arab, kini tidak lagi. Karena perpecahan di bangsa-bangsa Arab sendiri, akibatnya tidak ada lagi yang akan membela Palestina," ujarnya.