REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Para peserta Muslim Exchange Program, atau program pertukaran pemuda Muslim, berkunjung ke kantor ABC Melbourne. Mereka menjelaskan soal masalah intoleransi di Indonesia serta perlu adanya pemberitaan yang lebih positif soal Indonesia.
Program pertukaran pemuda Muslim Australia dan Indonesia adalah kegiatan tahunan Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia (DFAT), agar pemuda Muslim dari kedua negara bisa melihat kehidupan beragama di kedua negara.
Tahun ini peserta yang hadir dari Indonesia adalah Dr Ahmad Handayani, dokter asal Medan yang juga menjadi perwakilan komite bantuan gawat darurat medis (MER-C), yang sekarang sedang menangani korban letusan Gunung Sinabung di Sumatera Utara dan pengungsi Rohingya di Medan; Muhammad Mu'tasimbillah, akrab disapa Imbi, penulis buku yang aktif dengan program lintas agama di kalangan pemuda, dan bekerja bersama Fahmina Institute di Cirebon dan Lakpesdam Nahdlatul Ulama; Jayanti, konsultan pendidikan di Bandung dan aktif bersama Dompet Dhuafa; Nati Sajidah, konsultan asal Jakarta dan bergabung bersama Komunitas Pencinta Al-Qur'an; serta Abdurrohim, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah (STIS) Hidayatullah di Balikpapan.
Para peserta program mengaku jika mereka sangat berkesan dengan keberagaman yang dimiliki Australia, termasuk dalam mengakui keberadaan kaum minoritas.
"Karena saya berasal dari Indonesia dimana Muslim adalah mayoitas, bisa mudah menggunakan jilbab, mendapat makanan halal, berada di Australi pengalamannya berbeda, tetapi mereka menerima kami, seperti saat datang ke katedral," ujar Nati.
Tidak hanya mengunjungi gereja, mereka juga mengunjungi sekolah-sekolah dan beberapa institusi yang tidak hanya terbatas pada komunitas Muslim.
Saat bertemua tim ABC Indonesia, mereka berbagi pendapat soal kondisi intoleransi yang banyak dibicarakan di media masa, termasuk pernah menjadi sorotan di media-media Australia.
"Saya pribadi merasa intoleransi ini hanya terjadi di kalangan yang jumlahnya sedikit, karena kenyataannya di lapangan secara mayoritas kami masih bisa hidup berdampingan dengan suku dan agama yang berbeda-beda," ujar Jayanti yang menceritakan pengalaman pribadinya.
Dr Ahmad Handayani, yang lebih dikenal dengan nama Yani, mengatakan keadaan intoleransi ini lebih disebabkan karena ada kaitannya dengan kesejahteraan dan kesehatan mental masyarakat di Indonesia.
"Sebagian orang merasa frustasi tinggal di Indonesia, karena himpitan ekonomi atau masalah pekerjaannya," ujarnya.
"Belum lagi jika mereka tidak teredukasi dengan baik sehingga mereka hanya mengidentifikasi atau mendengar siapa yang sesuai dengan mereka tanpa mencari tahu lebih jauh," ujar Dr Ahmad.
Menurutnya inilah yang menyebabkan nyaringnya suara sejumlah kelompok di jejaring sosial.
Sementara itu Abdurrohim mengatakan dengan meningkatnya jumlah kelas menengah dari kalangan muslim sehingga membuat bermunculannya ideologi baru. "Sekarang ini Indonesia seolah terbagi menjadi antara mereka yang nasionalis dan kelompok Islami," katanya.
"Dengan memiliki sosok presiden dari golongan yang nasionalis, berkesan ada sikap resistensi dari kelompok Islamis."
Tapi para peserta sepakat jika masalah intoleransi di Indonesia lebih banyak disebabkan karena karena kurangnya berita-berita yang lebih positif di Indonesia. "Kita bisa tahu bahwa media-media lebih tertarik dengan liputan soal intoleransi dan radikalisme, ketimbang kegiatan positif yang sudah dibuat," ujar Imbi yang bercerita pernah mengajak anak-anak dari Umat Kristen untuk merasakan tinggal di pesantren selama beberapa hari.
"Kegiatan-kegiatan yang kita lakukan benar-benar di akar rumput, sebagai upaya untuk menawarkan narasi berbeda," ujarnya.
Imbi dan peserta program lainnya merasa bahwa suara yang positif terkesan kalah nyaring terlebih di jejaring sosial, sehingga berkesan jika Indonesia tidak lagi menjadi tempat yang toleran. Setelah diskusi bersama tim ABC Indonesia, para peserta berkesempatan berkeliling melihat studio TV yang baru ABC Melbourne, yang berlokasi di kawasan Southbank.
Mereka rencanannya akan mengunjungi ibu kota Canberra dan Sydney pada pekan depan, sebelum kembali ke Indonesia.