REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Singgih Wiryono/Jurnalis Republika
Beratap langit, berteman angin malam. Setiap saat gigitan nyamuk mengintai, walaupun dengan selimut baru. Tapi, bagi Ilyas yang baru saja merasakan penggusuran rumahnya di Kampung Palem Nuri, Kelurahan Panunggangan Barat, Kota Tangerang, menjadi hal yang tidak terlalu mengganggu tidurnya.
Itulah yang diceritakan Ilyas saat ditemui Republika di lokasi penggusuran, Kamis (7/12). Ilyas yang sudah lelah memindahkan barang-barang perabot rumahnya ke halaman kuburan Betet yang bersebelahan dengan kampung tersebut. Letih membuat dia melupakan lahan tempat dia tidur.
"Nggak kerasa, ini jadi nggak kerasa, padahal tidur di atas kuburan orang," ujar dia.
Tidak sendiri, Ilyas terpaksa menggelar kasurnya di atas tanah pemakaman bersama istri dan kedua anaknya. Istrinya, Ferawati masih menyuapi anaknya yang masih berusia 1,5 tahun, duduk di sebuah kasur di atas kuburan.
Pria berusia 36 tahun ini bercerita, sudah sangat terpaksa menjadikan lahan pemakaman sebagai tempat tidur keluarganya. Selepas di gusur, warga sempat berdiskusi kepada lurah untuk menempati Rusunawa (rumah susun guna sewa) yang jaraknya tak jauh dari lokasi penggusuran. Namun, kata Ilyas, lagi-lagi warga mendapat kekecewaan lantaran hanya diizinkan untuk menempati teras, bukan kamar.
"Kita seperti di penampungan saja, mending di sini (tanah kuburan), mau mengontrak nggak ada duit," jelas dia.
Kini, mereka bertahan di tanah pemakaman yang bersebelahan dengan lokasi penggusuran kampung mereka. Berteduh di bawah pohon dengan berteman batu nisan, di ruang terbuka itulah Ferawati sambil memberikan asi anaknya, bercerita tentang bagaimana pemerintah sama sekali tidak memperdulikan nasib mereka setelah tergusur.
Bernada kesal, wanita berusia 31 tahun itu mengatakan pernah ada oknum tertentu yang menjanjikan adanya pembuatan sertifikasi tanah untuk legalitas tanah yang mereka tempati. Tidak hanya itu, kata dia, seringkali ada oknum yang datang untuk menagih uang bulanan, seperti uang keamanan dan lainnya.
"Kita bayar 150 ribu, dijanjikan ada surat tanah," kata dia.
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Seperti itulah nasib dari sebagian besar warga Kampung Palem Nuri saat ini. Selepas rumah tempat mereka berteduh kini rata dengan tanah, mereka tak tahu akan ke mana dan belum ada tindakan solutif dari Pemkot Tangerang untuk masalah ini. Sebagian warga yang memiliki rezeki lebih, mampu menyewa kontrakan. Tapi, sebagian besar yang lainnya memilih untuk tetap diam di lahan kuburan, di samping lahan tempat mereka tergusur.
Tidak jauh berbeda dengan Ilyas dan keluarganya, adalah Ansor yang juga lebih memilih untuk tidur di samping lahan yang tergusur, hanya saja dia tidak tidur di lahan pemakaman, melainkan di pinggir jalan Betet Raya. Pria berusia 64 tahun ini mengatakan, akan terus diam di kampung yang tergusur tersebut, dan berupaya untuk membangun kembali tempat tinggalnya yang tergusur.
Warga sekitar juga mulai membuat tiang-tiang penyangga untuk membuat atap teduh. Mushalla di tengah kampung, adalah satu-satunya bangunan yang tersisa menjadi tempat memasak dan aktivitas lainnya untuk warga yang bertahan.
"Saya dari zaman pak Harto sudah di sini, sudah ada buyut. Anak cucu saya sudah pada kawin kok," ujar Ansor bersungut-sungut.
Ketika kami menyambangi pemakaman tempat bertahannya warga penggusuran, beberapa warga mendekat, menyimak kami melakukan wawancara dengan Ansor sebagai orang yang dituakan di kampung tersebut.
"Banyak nyamuk semalem, buang air jauh, kalau makan untung ada yang nyumbang, itu kampung di sebelah," jelas dia.
Sebagai seorang saksi hidup yang paling lama bermukim di tempat penggusuran, Ansor menceritakan tidak hanya kali ini saja terjadi ancaman penggusuran. Puluhan kali, kata dia, pengembang atas nama PT Palem Semi, namun selalu berhasil digagalkan warga. Sebab, kata dia, pengembang tidak memiliki surat-surat yang legal untuk mengeksekusi tanah yang ditempati 370 jiwa tersebut.
"Baru kali ini akhirnya mereka berhasil, karena pemkot yang eksekusi" kata dia.
Sambil duduk di atas batu nisan, Ansor mengungkapkan kekhawatiran atas dampak penggusuran yang tidak melampirkan solusi untuk warga yang digusur. Sebagian warga yang bertahan mulai terserang penyakit, ada juga yang prihatin karena beberapa orang tua yang renta sudah tak lagi bisa akrab dengan hawa dingin ketika malam tiba.
"Anak-anak kecil, masih orok (baru lahir atau masih merah) dititip ke saudara yang bisa sewa kontrakan," kata dia.
Tidak hanya itu, kekhawatiran Ansor makin menjadi ketika mengingat saat ini adalah bulan Desember yang berarti musim penghujan. Bisa saja terjadi, hujan datang sewaktu-waktu menguyupkan seluruh penghuni kampung yang kini tak punya atap untuk berlindung. Mushalla berukuran 4x4 meter terlalu kecil untuk meneduhkan warga berjumlah ratusan orang tersebut.
Bukan hanya warga, hujan juga bisa merusak barang-barang mereka yang kini berserakan di lahan pemakaman umum, Kampung Palem Nuri.
Belum lagi soal jadwal ujian sekolah, kondisi memprihatinkan terjadi pada anak-anak bangku sekolah yang saat ini kebetulan sedang melaksanakan ujian sekolah atau ujian semester. Terputusnya akses listrik di kampung lokasi penggusuran, anak-anak tidak bisa mempersiapkan dengan maksimal ujian yang harus mereka tempuh.
Republika kembali bertemu dengan anak korban penggusuran yang sempat diwawancarai saat penggusuran berlangsung, Raja Banten (11). Raja yang hari ini menempuh ujian semester dengan mata pejalaran Bahasa Inggris mengaku kesulitan belajar di atas cahaya lilin, hembusan angin malam dan selingat tepukan nyamuk yang menggigit pahanya. Anak yang pemalu ini tak patah semangat, dia hanya mengangguk sambil mengatakan "Baik, bisa jawab," saat ditanya bagaimana jalan ujian sekolahnya hari ini.
Kini, Ansor berharap agar lahan tempat mereka membangun rumah bisa kembali dimiliki dan ditempati layaknya sebelum terjadi penggusuran. Reruntuhan kini harus dipandang menjadi harapan, kata orang tua yang memiliki empat buyut itu. Ansor mengajak warga untuk membuat sebuah tenda agar bisa memberikan perlindungan sementara untuk orang tua dan anak-anak dengan sisa-sisa puing yang ada. Kapan saja hujan bisa datang, kata dia, dan warga harus siap sebelum hujan datang menyambangi kampung mereka yang sudah rata dengan tanah.