Sabtu 09 Dec 2017 09:43 WIB

Balada Warga Palem Nuri, Melawan Angin Menampar Muka Sendiri

Rep: Singgih Wiryono/ Red: Joko Sadewo
Warga korban penggusuran Kampung Palem Nuri, Kelurahan Panunggangan Barat, Kota Tangerang memilih bertahan dan tidur di atas pemakaman umum yang bersebelahan dengan lokasi penggusuran, Kamis (7/12).
Foto: Republika/Singgih Wiryono
Warga korban penggusuran Kampung Palem Nuri, Kelurahan Panunggangan Barat, Kota Tangerang memilih bertahan dan tidur di atas pemakaman umum yang bersebelahan dengan lokasi penggusuran, Kamis (7/12).

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG -- Warga Kampung Palem Nuri, Kelurahan Panunggangan Barat menginginkan Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang, khususnya Wali Kota Tangerang untuk langsung mengunjungi lokasi penggusuran. Salah seorang warga, Sugani mengatakan sebaiknya Wali Kota Tangerang, Arief R. Warmansyah bisa meninjau langsung lokasi penggusuran yang kini hanya tampak pung bekas bangunan rumah warga.

"Datang ke sini, lihat, ada yang tidur di kuburan, di lahan yang sudah digusur, di pinggir jalan," ujar dia saat ditemui Republika pada Jumat malam (8/12).

Pantauan Republika Kampung Palem Nuri, kampung yang digusur oleh Pemkot Tangerang pada Rabu lalu (6/12), ada suasana yang berbeda. Selepas penggusuran, warga banyak yang tidak ingin beranjak dari tanah yang sudah ditempati mereka hingga puluhan tahun lamanya.

Malam itu, mereka diterpa hujan. Cukup hanya dengan hujan kecil, warga kocar-kacir, membuat tenda darurat dari bahan seadanya. Anak-anak dan orang tua diungsikan ke dalam mushalla, sedangkan kaum lelaki bertahan di lahan, sambil membuat tenda dari bekas-bekas spanduk dan baliho yang mereka dapat dari hasil memulung, atau baliho yang tidak terawat di pinggir jalan.

Aminah (50) membaringkan cucunya di samping tembok bagian belakang mushalla, di atas mereka terlihat samar asap dari obat nyamuk yang tidak banyak membantu nyamuk-nyamuk yang ganas menikmati darah-darah mereka. 

Wajahnya khawatir, melihat cucunya yang sudah tidak memiliki seorang ibu itu sakit, lantaran kondisi tempat mereka melelapkan diri , sudah tak senyaman rumah mereka yang terlindas alat berat beberapa hari lalu. Aminah berbaring bersama warga lainnya, berjejer seperti ikan asin hendak dijemur.

"Dia panas, mungkin karena minum es tadi siang," kata Aminah sambil mengusap kening cucunya yang masih berusia 1,5 tahun.

Beragam alasan warga menolak relokasi ke rusun (rumah susun) yang ditawarkan pemerintah. Bagi Aminah, tanah yang dia tempati saat ini adalah tanah milik keluarganya yang sudah berpuluh tahun tinggal di sini. Beranak pinak, hingga memiliki cucu, berkeluarga dan tumbuh di tanah tersebut.

"Betah, mungkin kalau di tempat lain nggak betah, ini sudah ditawarin pindah, saya nggak mau," kata dia.

Aminah mengatakan akan terus bertahan, kembali membuat gubuk baru, melihat cucunya tumbuh di lingkungan yang sama. Aminah mengatakan, tidak bisa meninggalkan tanah yang tempat dia hidup, dan melihat keturunannya tumbuh di lingkungan tersebut. 

Selain tak ada keinginan meninggalkan lahan yang ditinggalinya sudah lama itu, dia mengatakan tak sanggup menerima persyaratan membayar sewa rusun yang disiapkan oleh Pemkot Tangerang, walaupun dengan subsidi.

"Kita makan saja susah, kadang makan kadang nggak. Kalau rusun nanti belum listrik belum air," kata dia.

Tak lama kemudian, datang sekelompok pemuda dari Forum Aksi Mahasiswa (FAM) Kota Tangerang membawa buntalan plastik berisi bantuan pakaian dan selimut. Ibu-ibu yang menunggu anak-anaknya tidur di Mushalla menerima degan haru, dan mulai memilah-milah pembagian baju bekas sumbangan tersebut untuk anak-anak mereka.

"Ini belum ganti, anak-anak bingung mau ganti pakai apa, karena air nggak ada, tempat nyuci nggak ada," kata Aminah.

Mushalla, bangunan yang satu-satunya disisakan ini lah tempat anak-anak, perempuan dan orang tua berjubel menjadi satu untuk menghindari hawa dingin dan hujan yang mungkin datang sewaktu-waktu.

Berbeda lagi untuk kaum Adam, mereka mendapat bagian tempat tidur di luar Mushalla. Beratap seadanya, tiang-tiang penyangga mereka buat dari sisa puing penggusuran. Orang tua yang sebelumnya diwawancarai Republika pada Kamis kemarin (7/12), Ansor (64) terlihat lelap, kecapaian. Beralas spanduk dan terpal bekas mereka tetap terlelap.

Berbeda lagi dengan kondisi di dalam Mushalla yang masih menyala sebuah racun nyamuk, di bagian luar Mushalla, nyamuk seakan ikut berkomplot ingin menggusur warga. Tepukan demi tepukan terdengar dari tangan-tangan mereka yang tertidur, menempeleng betis, paha, atau bahkan pipinya sendiri, melawan nyamuk yang tak mau kompromi dengan korban penggusuran.

Warga lainnya, Mustaki bercerita warga mulai terserang penyakit lantaran tempat yang bisa dikatakan tak layak untuk ditinggali. paruh baya dengan rambut ikal penuh uban tersebut mengatakan, beragam penyakit yang disebabkan angin malam yang dingin membuat beberapa warga terserang demam, dan penyakit lainnya seperti batuk dan pilek.

Mustaki kembali mengulang harapan warga, agar Wali Kota Tangerang bisa melihat kondisi mereka yang saat ini terlantar, dan tak tahu harus mengadu ke mana selain pada pemagku pemerintahan tertinggi Kota Tangerang.

 
 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement