REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu 7 November 2017 lalu, akhirnya penghayat kepercayaan dapat mencantumkan statusnya dalam kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Putusan ini pun menuai kritik dari berbagai umat beragama hingga saat ini, khususnya umat Islam.
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Prof Syaiful Bakhri mengatakan, putusan MK tersebut dilakukan dengan sangat senyap. Menurut dia, hal ini berbeda dengan putusan-putusan MK sebelumnya yang selalu melibatkan MUI atau ormas Islam, khususnya yang terkait dengan agama.
"Ini diputuskan dalam keadaan yang sangat sengap. Itu benar adanya, mengapa? karena putusan hakim MK yang berkaitan dengan isu-isu agama selalu mengundang pihak terkait (MUI dan Ormas Islam)," ujarnya dalam pengajian bulanan di Aula Ahmad Dahlan PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta, Jumat (8/12) malam.
Namun, menurut dia, walaupun putusan MK tersebut sudah final, tapi menurut ilmu hukum sebenarnya masih bisa diajukan yudisial review oleh beberapa ormas keagamaan seperti, Muhammadiyah, NU, Katolik, Kristen, dan agama lainnya agar kembali ke undang-undang semula. Bahkan, kata dia, Majelis Hukum Muhammadiyah sendiri sudah lima kali mengajukan yudisial review dan selalu menang.
"Beberapa pasal yang diputuskab segera diuji ulang lagi. Masih boleh walaupun belum pernah terjadi, tetapi kita lakukan karena hakim tidak bisa menolak suatu perkara yang masuk. Jadi kita tidak boleh lama-lama bersedih hati, mari kita ajukan," ucapnya.
Di acara yang sama, hal senada juga disampaikan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Baharun. Menurut dia, putusan MK terkait uji materi Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) itu dilakukan secara diam-diam.
"Khususnya putusan MK yang terakhir ini mengenai aliran kepercayaan, memang senyap diam-diam, tersembunyi, tidak ada publikasi, tahu-tahu keluar putusan MK yang menyudutkan," katanya.
Karena itu, menurut dia, MUI dalam hal ini merasa kecolongan karena MK tidak melibatkan pihak terkait, termasuk ormas Islam. Karena itu, ia yakin pasti ada sesuatu hal di balik putusan MK tersebut.
"Tentu kita meyakini bahwa sembilan orang di MK itu bukan malaikat. Karena itu kalau salah itu harus diakui. Karena itu, sangat didukung oleh MUI dan seluruh pakar ahli hukum supaya diajukan kembali uji materi ini," jelasnya.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya mengabulkan gugatan para penghayat kepercayaan terkait uji materi UU Adminduk. Judicial review UU Adminduk ini diajukan oleh empat orang Penghayat Kepercayaan, yaitu, Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim. Berdasarkan putusan MK pada Rabu 7 November 2017, penghayat kepercayaan kemudian dapat mencantumkan statusnya dalam kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK).