Senin 11 Dec 2017 11:13 WIB

Bahas Masalah Bangsa, ICMI Bentuk Pokja Ekonomi Pancasila

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Elba Damhuri
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) BJ Habibie (kiri) dan Ketua Umum ICMI Jimly Asshidiqie (tengah) saat pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Tahun 2017 di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Jumat (8/12).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) BJ Habibie (kiri) dan Ketua Umum ICMI Jimly Asshidiqie (tengah) saat pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Tahun 2017 di Istana Kepresidenan Bogor, Jakarta, Jumat (8/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) telah menuntaskan penyelenggaraan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) 2017 di Gedung Puspiptek, Serpong, Banten, kemarin. Salah satu hasil silaknas adalah membentuk kelompok kerja (pokja) untuk mengimplementasikan ekonomi pasar Pancasila.

Ketua Umum ICMI Jimly Ashiddiqie menjelaskan, Silaknas ICMI membahas sejumlah masalah di sektor ekonomi, sosial, organisasi, dan pendidikan. Khusus untuk ekonomi, ICMI ingin menjabarkan pemikiran Ketua Dewan Kehormatan sekaligus pendiri ICMI BJ Habibie tentang ekonomi pasar Pancasila.

"Salah satu kesimpulannya, ICMI membentuk suatu pokja untuk membahas lebih operasional, lebih elaboratif, mengenai implementasi kebijakan ekonomi pasar Pancasila beserta beberapa agenda aksi," kata Jimly dalam rilis, Ahad (10/12).

Ia menerangkan, pokja yang akan dibuat bertujuan untuk merumuskan pemahaman yang utuh mengenai konsep ekonomi pasar Pancasila. ICMI akan melibatkan pakar-pakar di dalam pokja tersebut.

Menurut Jimly, ekonomi pasar Pancasila merupakan konsep yang sangat strategis untuk ditawarkan sebagai alternatif solusi bagi perkembangan dan kemajuan kehidupan sosial ekonomi masyarakat bangsa Indonesia.

ICMI berharap pemerintah memberi perhatian yang lebih sungguh-sungguh dalam rangka mengimplementasikan prinsip ekonomi pasar Pancasila.

"Ekonomi pasar Pancasila suatu sistem yang dipahami oleh ICMI dari pemikiran Pak Habibie. Kita sepakat mendukung itu bahwa ekonomi pasar Pancasila itu sistem perekonomian yang mengakui realitas kekuatan pasar di era sekarang," ujar Jimly.

Terlepas dari perdebatan ideologis, Jimly menjelaskan, kenyataan hidup umat manusia dewasa ini dalam tingkat nasional maupun global, ekonomi terus bergerak. Market driven menjadi suatu kenyataan. Maka, kenyataan ini harus dikontrol untuk dikendalikan oleh kesepakatan tertinggi bangsa, yaitu Pancasila.

Menurut Jimly, dalam hal ini, perlu ada penjabaran perekonomian pasar seperti apa yang berketuhanan Yang Maha Esa, berlandaskan kepada kemanusiaan yang adil dan beradab, mempersatukan, bersifat kerakyatan, serta menjamin perwujudan keadilan sosial bagi semua.

Jimly menambahkan, rekomendasi yang lain dari Silaknas ICMI adalah semua ormas Islam didorong untuk mengembangkan gerakan ekonomi dengan lebih sungguh-sungguh. Gerakan wirausaha harus didorong dari tingkat yang paling tinggi hingga paling rendah.   

Ketua Dewan Pakar ICMI yang juga Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan, semakin memudarnya pemahaman nilai Pancasila sebagai dasar negara menyebabkan munculnya beragam masalah kebangsaan. Oleh sebab itu, Zulkifli meminta agar ICMI sebagai organisasi berbasis kaum cendekiawan dan intelektual mampu berkontribusi serta memberikan solusi terhadap persoalan bangsa berdasarkan Pancasila.

"ICMI bisa menjadi jembatan dalam menyelesaikan masalah kebangsaan dengan mengimplementasikan makna Pancasila dalam masyarakat," kata Zulkifli seperti dikutip laman resmi ICMI, Ahad (10/12).

Ia mengatakan, masalah yang kerap dirasakan muncul, yakni kurangnya kesadaran mengimplementasikan sila kelima Pancasila. Sehingga, menimbulkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Maraknya penyimpangan hukum yang terjadi, kata dia, juga akibat faktor kurangnya memahami Pancasila yang berdampak hanya memikirkan kepentingan sepihak.

Anggota Dewan Kehormatan ICMI Ginandjar Kartasasmita mengungkapkan, tujuan bernegara adalah mewujudkan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Menurut Ginandjar, masih munculnya kesenjangan di lapisan kehidupan masyarakat Indonesia berarti membuktikan masih jauhnya dari cita-cita kemerdekaan bangsa.

"Menjadi tugas negara mewujudkan ekonomi berkeadilan untuk menyelesaikan masalah kesenjangan. Namun, kita juga harus lihat kesenjangan sebagai sebuah fenomena universal. Hampir semua negara menghadapi masalah kesenjangan, termasuk di negara maju," kata Ginandjar.

Kesenjangan, kata dia, dapat dilihat dari dua sisi, yaitu absolut dan relatif. Dia mengemukakan, persoalan kesenjangan mulai muncul pada lima tahun lalu saat rasio Gini menyentuh 0,41, meskipun setelah itu ada penurunan.

Menurut Ginandjar, yang perlu diperhatikan dari tingkat kesenjangan adalah siklus antara lainnya, kepemilikan aset, penghasilan, konsumsi, dan investasi.

"Untuk kelompok atas, siklus ini bergerak penuh, dari aset bergerak ke penghasilan, konsumsi, investasi, dan kembali ke aset. Sementara pada kelompok penghasilan rendah karena asetnya sedikit atau bahkan tidak ada maka penghasilan dan konsumsinya stagnan," katanya.

(Pengolah: Muhammad Iqbal).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement