Selasa 12 Dec 2017 00:33 WIB
TGB: Setop Perkawinan Anak

Praktik Tradisi 'Merariq' Banyak Menyimpang, Apa Dampaknya?

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Agus Yulianto
Provinsi NTB deklarasikan gerakan setop perkawinan anak di Taman Budaya NTB, Jalan Majapahit, Mataram, NTB, Ahad (10/12).
Foto: Muhammad Nursyamsyi
Provinsi NTB deklarasikan gerakan setop perkawinan anak di Taman Budaya NTB, Jalan Majapahit, Mataram, NTB, Ahad (10/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Dengan mata berkaca-kaca, Megawati mencoba tegar membagikan pengalaman kelamnya kepada khalayak ramai. Perempuan berusia 23 tahun membuang rasa pilu dan bercerita dengan menggebu-gebu agar kisahnya tak terulang pada generasi muda lainnya.

"Saya menikah saat usia 16 tahun, dan akhirnya putus sekolah," ujar Megawati saat Deklarasi Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Taman Budaya NTB, Ahad (10/12) kemarin.

Pernyataannya ini sontak menuai simpati ratusan orang yang hadir di Taman Budaya NTB, tak terkecuali para pelajar. Namun, nuansa sedih yang sempat membuncah, beralih menjadi gelak tawa tatkala perempuan asal Desa Pijot, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur, NTB, ini melanjutkan ceritanya.

"Saya menjadi pergunjingan, karena teman-teman saya nikah pada usia 14-15 tahun. Jadi, saya dipergunjingkan karena dianggap telat menikah," lanjut Megawati.

Megawati meminta para generasi muda lain tak mengikuti jejaknya. Ini lantaran, perkawinan anak lebih banyak mudharatnya. Ia dan suami yang sama-sama masih anak-anak, tak kuat menanggung beban pernikahan dan terus mengalami percekcokan, hingga berujung kekerasan dalam rumah tangga.

Faktor ekonomi juga menjadi salah satu persoalan terbesar lantaran sang suami tidak bekerja. "Andai saja waktu bisa diputar kembali. Saya harap jangan ada anak-anak usia belia menikah agar tidak seperti saya," kata Megawati.

Sempat putus asa, Megawati kembali bangkit setelah bergabung dengan sekolah perempuan. Bersama korban perkawinan anak yang lain, Megawati memberikan edukasi dan sosialiasi betapa pentingnya tidak menikah di usia dini. "Sekolahkan kami, bukan nikahkan kami," pesan Megawati.

NTB merupakan salah satu provinsi dengan angka perwakinan anak yang cukup tinggi. Deputi Menteri Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Lenny Rosalin menyebutkan kondisi perkawinan anak di Indonesia sudah berada pada kategori darurat.

Berdasarkan data UNICEF, Indonesia menempati urutan ketujuh di dunia dan kedua tertinggi di Asia Tenggara dalam kasus perkawinan anak. Lenny menyampaikan, data BPS mengungkapkan anak perempuan Indonesia yang menikah di bawah usia 18 tahun pada 2016 mencapai 17 persen.

"NTB menjadi salah satu provinsi dengan tingkat perkawinan anak yang cukup tinggi, yakni mencapai 25 persen. Ini sudah darurat, bayangkan kalau satu dari empat perempuan di NTB kawin di usia anak, mau seperti apa SDM ke depan," ujar Lenny.

Meski memiliki jumlah perkawinan anak yang cukup tinggi, KPPPA mengapresiasi sejumlah langkah yang ditempuh NTB dalam menurunkan tingkat perkawinan anak. Salah satunya, keputusan Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi yang mengeluarkan edaran tentang pendewasaan usia perkawinan yang tertuang dalam Surat Edaran Gubernur NTB Nomor 180/1153/Kum Tahun 2014 bahwa usia perkawinan ideal bagi laki-laki dan perempuan adalah 21 tahun.

"NTB melakukan deklarasi gerakan setop perkawinan anak dengan melibatkan berbagai elemen, dari OPD, tokoh adat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Bahkan, NTB meminta adanya revisi UU Perkawinan Anak," lanjut Lenny.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement