REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) mengklaim rumah sakit (RS) di Indonesia siap menangani lonjakan pasien kejadian luar biasa (KLB) difteri. Banyak rumah sakit tipe C di sejumlah kabupaten kota sudah siap untuk menangani penyakit tersebut.
"Sementara untuk RS kelas B di kota-kota besar dipastikan bisa menanganinya karena sudah memiliki fasilitas yang lebih lengkap," ujar Deputi bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan, Kemenko PMK, Sigit Priohutomo di Jakarta seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (11/12) lalu.
Kemenko PMK berharap agar masyarakat jangan panik dan mengikuti informasi tentang pencegahan dan penanganan serangan difteri ini. Pemerintah, menurut Sigit, akan terus melakukan upaya pencegahan agar penyakit ini tidak menyebar semakin luas.
Sebelumnya, berdasarkan laporan yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan sampai akhir November 2017 menyebutkan, ada 95 kabupaten dan kota dari 20 provinsi yang melaporkan kasus difteri. Secara keseluruhan terdapat 622 kasus, 32 di antaranya meninggal dunia. Perkembangan cepat kasus ini membuat 20 provinsi menyatakannya sebagai kejadian luar biasa (KLB) difteri.
"Penyakit ini adalah wabah yang tergolong mematikan yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diptheriae dan pemerintah telah menetapkan statusnya sebagai Kejadian Luar Biasa," ujar Sigit.
Sigit menuturkan, untuk menangani hal ini pemerintah telah menetapkan kebijakan dengan melakukan Outbreak Renponse Imunisasion (ORI) atau imunisasi ulang secara massal dari umur tertua yang terkena penyakit tersebut. Misal jika yang terkena paling tua adalah umur 19 tahun, maka kita akan melakukan ORI mulai umur 19 tahun ke bawah.
Lebih lanjut, Sigit mengatakan bahwa penyakit difteri ini paling sering menyerang tenggorokan. Pada tenggorokan tersebut muncul selaput bening yang sulit untuk dilepas. Jika dilepas akan berdarah. Penyakit ini pada tahap lebih kritis akan menutup jalan napas yang mengakibatkan pada kematian.
Bahkan, tambah Sigit, persoalan selanjutnya yang muncul adalah toksin (zat beracun) dari bakteri difteri ini yang antara lain bisa merusak otot jantung, sel saraf, gagal napas, kelumpuhan saraf tepi, dan infeksi di jantung.
"Saya berharap sekali, masyarakat terus mengikuti prosedur yang telah diberikan," ujarnya.
Sigit menjelaskan bahwa ORI ini akan diberikan melalui Imunisasi Dasar pada bayi (di bawah satu tahun) sebanyak tiga dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak satu bulan. Sigit berharap masyarakat jangan ragu-ragu untuk melakukan imunisasi pada anak, terlebih saat ini sudah banyak muncul penyakit ini di sekitar.
"Kenapa orang bisa terkena penyakit ini? Karena kegagalan perlindungan imunisasinya. Bisa jadi karena masalah pada anak yang daya tahan tubuhnya menurun, atau imunisasinya tidak sesuai dengan yang telah dianjurkan," ujarnya.