REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Sejumlah pakar meneliti penyebab munculnya 'ketakutan terhadap Islam' dari perspektif Barat. Beberapa panelis mengungkapkannya pada hari ketiga Forum Ke-4 untuk Mempromosikan Perdamaian di Masyarakat Muslim, yang digelar di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Rabu (13/12).
Dilansir dari The Gulf Today, Kamis (14/12), para panelis tersebut di antaranya, Presiden Federasi Nasional Muslim Prancis Dr. Mohammed Al Bechari, seorang penulis dan penerjemah asal Jerman Profesor Stephen Weidner, Profesor Dr. Sherman Jackson dari University of Southern California, dan senior di Dewan Atlantik yang berbasis di Amerika Serikat Profesor Dr. Hisham Hellyer.
Pada kesempatan itu, Dr. Jackson mencatat ada dua jenis Islamofobia di AS. Yang satu dihasilkan oleh lawan dan yang lainnya merupakan tipe yang ia gambarkan sebagai Islamofobia 'yang sesungguhnya (asli)'. Yang mana, Islamofobia tipe asli ini ia gambarkan sebagai ketakutan yang benar-benar dirasakan, walapun penyebab ketakutan itu tidak nyata atau dibenarkan. Ia menilai, hanya melalui keterlibatan nyata antara para pengikut Islam dan agama lainnya di AS, yang akan memungkinkan untuk bisa mengatasi ketakutan 'yang sebenarnya' itu.
Panelis lainnya, Hellyer, mencatat bahwa ada sejarah keterikatan yang panjang antara sejarah Muslim dengan Eropa, namun sering diabaikan. Seperti halnya keberadaan lama dari komunitas Muslim lokal. Namun, ia mengatakan ada perbedaan perspektif dan naratif dalam sejarah, baik itu di dalam negeri maupun kalangan yang lebih luas.
Pada periode sejak serangan 11 September 2001 di AS dan peristiwa pemboman 7 Juli 2005 di London, perasaan anti-Muslim menurutnya telah semakin jelas terjerat oleh rasisme. Ia menunjukkan bahwa penelitian ulang terhadap definisi itu akan bernilai.
Pada tanggapan yang lainnya, Abdul Wahid Pedersen, Sekretaris Jenderal Danish Muslim Aid, mengatakan bahwa faktanya banyak masjid di Denmark menggunakan bahasa Arab, Urdu atau Somalia, sebagai bahasa ibadah mereka. Hal itu menurutnya telah membuat non-Muslim di Denmark merasa kesulitan untuk memahami dan terlibat dengan komunitas Muslim.
Masjid milik lembaganya sendiri, menurutnya, telah mengadopsi dari masjid-masjid di Amerika Serikat dalam hal praktik pelayanan yang menggunakan bahasa nasional, yakni Denmark. Hasilnya, kata dia, interaksi antara Muslim dengan komunitas yang lainnya menjadi meningkat.
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement