REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli dan peneliti sepakat bahwa banjir besar yang terjadi di zaman Nabi Nuh benar-benar ada. Bahkan dalam berbagai agama dan kepercayaan, termasuk kebudayaan beberapa negara, menceritakan kisah banjir besar yang melanda umat Nabi Nuh.
Hanya saja, perbedaan pendapat muncul seputar peristiwa itu. Setidaknya, ada dua hal yang hingga kini menjadi kontroversi. Pertama, benarkah banjir besar itu menenggelamkan seluruh dunia. Dan, kedua, apakah seluruh hewan yang ada di muka bumi ini naik ke kapal Nabi Nuh AS.
A. Banjir Besar Domestik
Para ahli sepakat bahwa ditenggelamkannya umat Nabi Nuh terjadi karena mereka membangkang atas ajakan Nabi Nuh untuk beriman kepada Allah SWT akibat sebuah banjir yang teramat besar. Berapa besarnya dan seberapa luasnya banjir itu melanda, inilah yang diperselisihkan.
Ada yang berpendapat, banjir besar melanda seluruh dunia. Sehingga, tidak ada satu binatang atau seorang manusia pun yang selamat, kecuali mereka yang berada di dalam kapal tersebut.
Namun, pendapat ini dibantah pihak lain. Menurut Harun Yahya, penulis buku Kisah-kisah dalam Alquran, banjir itu hanya terjadi di wilayah tertentu, tempat umat Nabi Nuh berada. Ia menegaskan, banjir Nabi Nuh terjadi hanya regional (domestik) dan tidak terjadi secara global yang menenggelamkan dunia. Ia mendasarkan pendapatnya ini dengan peristiwa yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud. Sementara itu, bagi penganut Kristen dan Katolik, mereka memercayai peristiwa itu terjadi secara global. Hal ini sebagamana dimuat dalam kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang menyatakan terjadinya banjir bersifat global.
Dalam Alquran disebutkan, ketika Nabi Nuh berdoa: ''Ya Tuhanku, janganlah engkau biarkan seorang pun di antara orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya, jika engkau membiarkan orang-orang kafir itu tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.'' (QS Nuh 25-27).
Namun doa itu, menurut Ibnu Katsir dalam bukunya, Qishash al-Anbiya', menyatakan, hanya ditujukan untuk umat Nabi Nuh, bukan semuanya. Selain itu, umat yang mendiami bumi ini juga terbatas, dan belum merata seperti sekarang ini.
Menurut para ahli, banjir itu hanya menimpa daerah tertentu. Yaitu, di daerah Mesopotamia yang meliputi wilayah Turki, Iran, dan Rusia. Lantaran, daerah itu berupa cekungan raksasa yang luasnya mencapai sekitar sembilan hingga 10 juta hektare atau sekitar 70 persen dari luas pulau Jawa. Sehingga, banjir saat itu besarnya bisa disamakan seperti lautan karena puncak bukit setinggi 5000 meter tidak akan tampak pada jarak 250 km.
Dari citraan satelit, lingkup banjir pada saat perahu Nabi Nuh mendarat dapat dilacak dengan membuat garis ketinggian dengan menelusuri level yang sama dengan level di mana perahu ditemukan. Dari sana diketahui, luas area banjir sekitar empat juta hektare. Sedangkan, panjang lingkup banjir sekitar 560 km.
B. Sebagian Binatang
Sama halnya dengan banjir besar yang terjadi secara regional atau global, para ahli juga berbeda pendapat. Pendapat pertama, seluruh hewan dan binatang yang ada di muka bumi, naik ke atas kapal secara berpasang-pasangan. Pendapat kedua, menyatakan, hanya sebagian hewan yang naik ke kapal Nabi Nuh. Penjelasan mengenai agar hewan dinaikkan 'hanya' sepasang, telah mengindikasikan tidak semuanya dinaikkan ke kapal.
Bahkan, sejumlah pakar menyatakan, jikalau seluruh hewan dan binatang naik ke kapal, bagaimana mungkin binatang Bison yang ada di Amerika, Komodo di Indonesia, Kanguru di Australia, Panda di Cina, bisa berkumpul dalam waktu singkat ke dalam kapal Nabi Nuh. Selain itu, bagaimana mengumpulkan berbagai jenis serangga, semut, nyamuk, laba-laba, dan lainnya secara berpasangan. Sementara, umat Nabi Nuh AS belum diberi kemampuan untuk membedakan jenis kelamin serangga antara jantan dan betina. Wa Allahu A'lamu.