Jumat 15 Dec 2017 08:00 WIB

Kebijakan Fiskal Rasulullah SAW, Seperti Apa?

Kebijakan Fiskal Rasulullah SAW, Seperti Apa?

Rep: sya/berbagai sumber/ Red: Agung Sasongko
Rasulullah
Foto: wikipedia
Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan fiskal telah lama dikenal dalam teori ekonomi Islam, yaitu sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para ulama. Ibnu Khaldun (1404) mengajukan solusi atas resesi dengan cara mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar, ibu dari semua pasar, dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan, wajar bila pasar yang lain pun akan ikut menurun, bahkan dalam agregat yang lebih besar.

Pengamat Ekonomi Syariah, Adiwarman Karim, dalam bukunya, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, menulis, Abu Yusuf (798 H) merupakan ekonom pertama yang secara rinci menulis tentang kebijakan ekonomi dalam kitabnya, Al Kharaj, yang menjelaskan tanggung jawab ekonomi pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Menurut Adiwarman, di zaman Rasulullah SAW, sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj (sejenis pajak tanah), zakat, kums (pajak 1/5), jizyah (sejenis pajak atas badan orang non-Muslim), dan penerimaan lain-lain (di antaranya kafarat/denda). Sementara itu, pengeluaran terdiri atas pengeluaran untuk kepentingan dakwah, pendidikan dan kebudayaan, iptek, hankam, kesejahteraan sosial, dan belanja pegawai.

Penerimaan zakat dan kums dihitung secara proporsional berdasar persentase, bukan nilai nominal, sehingga ia akan menstabilkan harga dan menekan inflasi ketika permintaan agregat lebih besar daripada penawaran agregat.

Sistem zakat perniagaan tidak akan memengaruhi harga dan jumlah penawaran karena zakat dihitung dari hasil usaha. Berbeda dengan hal tersebut, saat ini PPN dihitung atas dasar harga barang. Dengan demikian, harga barang bertambah mahal dan jumlah yang ditawarkan lebih sedikit.

Di zaman Khulafaur Rasyidin, begitu banyak contoh nyata pengelolaan dana rakyat yang baik. Di zaman Umar ibn Khattab RA, penerimaan Baitul Maal mencapai 160 juta dirham. Di sisi pengeluaran, Umar memerintahkan Amr bin Ash, gubernur Mesir, untuk membelanjakan sepertiga APBN untuk membangun infrastruktur.

APBN di zaman-zaman para teladan tersebut jarang mengalami defisit. Dengan ketiadaan defisit, tidak ada uang baru yang dicetak dan inflasi tidak akan terjadi (karena adanya ekspansi moneter).

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement