REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komite III DPD RI, Fahira Idris menyayangkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini. Menurutnya gugatan Judicial Review (JR) pemohon terhadap tiga pasal kesusilaan, 284, 285, dan 292 KUHP sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini.
"Tentunya banyak yang menyayangkan keputusan MK ini," ujar Fahira dalam pesan tertulisnya, Kamis (14/12).
Menurut Fahira, uji materi terhadap Pasal 284, Pasal 285, dan Pasal 292 KUHP merupakan salah satu upaya untuk menciptakan lingkungan sosial dan hukum yang dapat mencegah tindak kejahatan seksual. Menurutnya, bagaimanapun juga Pasal 284 KUHP soal zina ini peninggalan kolonial Belanda yang mana di negeri Belanda tidak mempersoalkan zina.
"Nilai-nilai itu tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa kita, harusnya dirumuskan kembali agar sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia," katanya.
Sehingga lanjut Fahira, menguji pasal tersebut di MK adalah langkah yang tepat sebagai upaya untuk merumuskan kembali pasal tersebut. Dengan begitu perbuatan seperti hubungan badan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri alias kumpul kebo dapat dijerat dengan pidana.
Begitupun dengan Pasal 285 KUHP lanjut Fahira, larangan bersetubuh dengan paksaan (perkosaan) dapat diperluas lagi. Yang mana korban di sini bukan hanya perempuan namun laki-laki juga bisa menjadi korban.
Kemudian Pasal 292 KUHP juga menurutnya sangat rasional dan relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang semakin mengkhawatirkan. Perbuatan cabul kata Fahira, berlaku juga bagi sesama jenis baik dilakukan oleh sesama orang dewasa, oleh orang dewasa dengan anaka-anak, maupun dilakukan oleh sesama anak kecil.
"Jadi kalau kita lihat apa yang diuji materiilkan ini sangat baik dan rasional," ucapnya.
Oleh karena, Fahira mengatakan aturan dan hukum larangan perzinaan, larangan perkosaan, dan larangan hubungan homoseksual diharapkan dapat menciptakan efek pencegahan untuk tidak melakukan perilaku seksual menyimpang. Bukan seperti yang banyak dituduhkan yang menyatakan jika MK mengabulkan maka dianggap sebagai upaya kriminalisasi.
"Poinnya uji materi ini adalah pencegahan agar tidak terjadi kekerasan seksual, zina, pencabulan sesama jenis, karena hukum melarangnya. Jadi bukan upaya kriminalisasi, seperti yang khawatiran beberapa pihak," jelasnya.
Apabila melihat amar putusan tambahan Fahira, sebenarnya ada perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari empat orang hakim yang menangani uji materi tersebut. Ini mencerminkan sebenarnya gugatan tersebut berlandaskan hukum.
"Artinya gugatan ini sebenarnya punya dasar yang kuat, hanya saja lima hakim lain mempunyai pendapat yang berbeda hingga gugatan ditolak," katanya.