REPUBLIKA.CO.ID, YANGOON -- Sekretaris Jendral (Sekjen) PBB Antonio Guterres meminta otoritas Myanmar segera membebaskan dua jurnalis yang ditahan. Dia mengatakan, penangkapan itu merupakan bentuk pengekangan kebebasan pers di negara tersebut.
"Ini jelas merupakan keprihatinan sehubungan dengan pengikisan kebebasan pers di negara itu," kata Antonio Guterres dalam sebuah konferensi pers di Tokyo, Jumat (15/12).
Guterres mengatakan, kekhawatiran sesungguhnya bukan terletak pada penahanan dua jurnalis tersebut melainkan terhadap pelanggaran hak asasi manusia di negara tersebut. Terlebih, setelah muncunya berbagai laporan terkait tindak kekerasan militer terhadap minoritas muslim Rohingya.
"Mungkin saja alasan penahanan kedua jurnalis karena melaporkan kejadian dari apa yang telah mereka lihat sehubungan dengan tragedi kemanusiaan yang masif ini," tambahnya.
Dia meminta, dunia internasional harus mengerahkan semua kemampuan untuk membebaskan jurnalis tersebut dan kebebasan pers di Myanmar.
Hal serupa juga diungkapkan Menteri Luar Negeri Boris Johnson. Dia mengaku, prihatin kepada pemerintah Myanmar atas penangkapan itu.
"Kami berkomitmen terkait hal kebebasan mengemukakan pendapat dan kemampuan seseorang untuk melaporkan fakta yang terjadi di kawasan Rakhine," katanya.
Sementara, dua jurnalis Reuters Wa Lone dan Kyaw Soe Oo bersama dua polisi menghadapi dakwaan Pemerintah Myanmar atas perolehan informasi secara tidak sah dengan maksud untuk membaginya dengan media asing. Tuduhan tersebut disampaikan oleh Kementrian Informasi Myanmar.
Jurnalis yang tengah mengerjakan cerita tentang perselisihan di Rakhine itu didakwa telah melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi era kolonial Inggris tahun 1923. Mereka dituntut hukuman penjara maksimum 14 tahun.
Wa Lone bergabung dengan Reuters pada Juni 2016. Ia telah meliput berbagai cerita di Myanmar, termasuk krisis pengungsi Rohingya di Rakhine. Sedangkan, Kyaw Soe Oo telah menjadi bagian dari Reuters sejak September.