REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarawan Betawi Alwi Shahab menuturkan, budaya toleransi telah mengakar dengan kuat di kalangan masyarakat Muslim Jakarta, bahkan sejak zaman kolonial Belanda. Itu dikarenakan para ulama Betawi di masa lalu sangat menghargai perbedaan dan selalu mengajarkan cinta kasih kepada para jamaahnya.
Seperti Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (1870-1968), misalnya. Ulama yang juga dikenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang itu memiliki kecintaan yang begitu besar kepada umat Islam. Semasa hidupnya, ia tidak pernah mengajarkan untuk saling membenci dan memusuhi di antara sesama kaum Muslim.
Habib Ali Kwitang selalu menekankan pentingnya persaudaraan atau ukhuwah bagi umat Islam. Ajaran tersebut sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW, Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain (beliau SAW kemudian menggeggamkan jari-jarinya untuk menggambarkan sabdanya tersebut), (HR muttafaq alaih).
Dalam pidatonya, Habib Ali selalu menangis setiap kali menyebut tentang toleransi, cinta kasih, dan persaudaraan. Dia tidak rela melihat umat Islam dipecah belah. "Dia betul-betul sayang dengan umat ini," ujar Abah Alwi, sapaan Alwi Shahab, kepada Republika.co.id.
Tidak hanya memiliki kecintaan terhadap kaum Muslim, Habib Ali Kwitang juga dikenal menjunjung tinggi toleransi dengan umat agama lain. Semasa hidupnya, dia banyak berteman dengan orang-orang non-Muslim, namun tidak pernah sekalipun mengalami konflik dengan mereka.
Nilai-nilai toleransi dan kasih sayang juga ditanamkan dengan kuat oleh Habib Ali Kwitang terhadap keluarganya. Sebagai buktinya, putra sulung Habib Ali Kwitang, yaitu Habib Abdurahman al-Habsyi, juga dikenal sebagai sosok yang amat toleran terhadap sesama. Ajaran cinta kasih sang habib itu pula yang kemudian meluruhkan hati Maria van Engel, seorang gadis keturunan Belanda beragama Nasrani, sehingga memutuskan untuk masuk Islam dan bersedia dipersunting oleh Habib Abdurrahman.
Setelah masuk Islam, Maria van Engel lantas mengganti namanya menjadi Mariam. Menurut Abah Alwi, Mariam menjadi menantu kesayangan Habib Ali Kwitang. Bersama suaminya, Habib Abdurrahman, ia tinggal di samping rumah mertuanya.
Perempuan Indo itu pun dengan cepat mampu bergaul dan berpartisipasi dengan masyarakat sekitar. Orang-orang di Kampung Kwitang memanggil Mariam dengan sebutan Wan Enon atau Ibu Enon. Sementara, cucu-cucunya memanggil Jidah Non. Kata jidah sendiri adalah sebutan nenek dalam bahasa Arab.
"Saya ini adalah cucu kandung dari Mariam. Dan saya tahu betul, sejak menjadi Muslimah, nenek saya itu tidak pernah sekali pun meninggalkan shalat," ungkap Abah Alwi.
Meski berbeda keyakinan, Mariam semasa hidupnya terus menjaga hubungan baik dengan keluarganya yang Nasrani. Abah Alwi bahkan sering diajak oleh nenenknya itu mengunjungi kerabatnya yang non-Muslim dan bermain gundu (kelereng) bersama cucu-cucu mereka.
"Saya diajarkan untuk saling sayang-menyayangi dengan keluarga yang Nasrani. Saat bertemu dengan saudara-saudara yang Nasrani itu pun, kami tidak pernah ngomong soal agama. Tidak ada sedikit pun kebencian kami terhadap non-Muslim," tutur Abah Alwi lagi.