REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja mengadakan rapat koordinasi bersama Kementerian Agama (Kemenag), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan para produser program religi. Mereka membahas tentang standarisasi program acara religi dan penceramah yang akan tampil di televisi.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Dirjen Bimas) Islam dari Kementerian Agama, Prof Muhammadiyah Amin berpandangan, perlu adanya pedoman kode etik siaran dakwah Islam melalui media elektronik. Sebab, pelaku dakwahnya harus memiliki kriteria dan kepribadian yang baik serta moral yang baik.
"Kenapa kode etik, karena di dalam rancangan ini kita menyebut kepribadian dan integritas pelaku dakwah," kata Prof Muhammadiyah kepada Republika, Jumat (15/12).
(Baca juga: MUI, Kemenag, KPI dan Produser Program Religi Bentuk Tim)
Ia menerangkan, paling tidak penceramah yang akan tampil di media elektronik memiliki empat wawasan pokok. Di antaranya wawasan Alquran dan hadis, wawasan kebangsaan, wawasan teknik berdakwah, dan wawasan kekinian. Jadi ceramahnya aktual.
Ia menyampaikan, Dirjen Bimas Islam mempunyai konsep. Konsepnya pelaku dakwah dilarang menyampaikan ujaran kebencian, kata-kata kasar, cabul, makian dan dilarang menyampaikan materi provokatif. Juga dilarang memberikan ceramah bermuatan kebohongan, menyinggung SARA, kampanye politik praktis dan khilafiah yang berpotensi menimbulkan konflik.
Menurutnya, kode etik siaran dakwah agama Islam melalui media elektronik bisa digunakan untuk panduan para produser program religi di televisi. Kode etik ini akan dirumuskan dan disosialisasikan, diupayakan dalam waktu dekat.
"Ini (kode etik siaran dakwah) keputusan dirjen tetapi saya mau ini keputusan menteri, jadi walaupun Dirjen Bimas Islam yang merancang konsepnya kami sangat berharap kalau ini menjadi keputusan menteri agama," ujarnya.
Prof Muhammadiyah mengungkapkan, diharapkan menteri agama yang akan menandatangani pedoman kode etik siaran dakwah agama Islam melalui media elektronik. Menurutnya, pedoman kode etik siaran dakwah agama Islam melalui media elektronik juga harus diketahui KPI. Supaya mereka bisa memberikan masukan.
Ia menambahkan, MUI membuat pedoman dan Kemenag juga membuat pedoman untuk penceramah. Hal ini tidak masalah karena yang terpenting keduanya sejalan. Prof Muhammadiyah juga menginformasikan, dibuatnya pedoman kode etik tersebut karena dakwah di era digital memiliki tantangan yang lebih berat dan kompleks.
"Tantangannya karena kehadiran media elektronik itu memberikan pengaruh yang sangat kuat, sangat luas, cepat," ujarnya.