REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berpikir untuk memiliki produk berbeda yang unik, busana Muslim etnik Rasyida Alam lahir dari tangan Rizanti Tuakiya.
Semula, Rizanti Tuakiya (Santi) mengulak busana Muslim dari Tanah Abang, Jakarta untuk ia jual kembali di garasi rumahnya di Jl Gayungsari Timur MGM 18 Surabaya. Dari satu pameran ke pameran, Santi melihat kompetitornya juga punya busana yang sama. Terpikirlah untuk membuat produk busana Muslim sendiri yang berbeda. Produk itu lahir pada 2004 dengan merek Rasyida Alam. Nama itu ia ambil dari nama kedua anak dan suaminya.
Setelah mengikuti pekan raya Jakarta pada 2005, barulah ia memiliki ide untuk memproduksi busana Muslim etnik. Unsur etnik ini dimunculkan melalui batik, tenun, maupun motif lukisan yang ia gunakan dalam produknya. Karyanya kemudian diapresiasi di SmesCo Award 2008 dari Kementerian Koperasi dan UKM untuk kategori fesyen.
Direspons baik oleh pasar, Santi makin bulat dengan produknya. Batik dan tenu ia buru dari berbagai daerah termasuk Bima, Jepara, Bali, NTT, dan NTB. ''Ide desainnya saya cari dari internet. Tentu ada penyesuaian karena ini busana Muslim,'' kata Santi seperti didokumentasikan dalam Buku UKM Indonesia, Tumbuh dan Maju Bersama Semen Indonesia. Santi bergabung menjadi binaan Semen Indonesia sejak 2014.
Untuk memuaskan pelanggan, Santi berani menggratiskan biaya jahit bila pesanan pelanggan lewat dari batas waktu yang dijanjikan. Hal itu memicu kepuasan pelanggan.
Pada 2006, bisnis Rasyida Alam yang makin besar tak cukup lagi sekadar mengandalkan rumah pribadi. Sehingga Santi harus menyewa rumah sendiri Jl Kebonsari Sekolahan 14 Surabaya untuk usahanya. Enam tahun kemudian, Santi akhirnya membeli rumah untuk tempat produksi dan ruang pamer produk. Pada 2014, Santi bergabung menjadi mitra binaan Semen Indonesia.
Mempekerjakan 40 orang yang sebagian besar warga Kebonsari, Rashida Alam kini bisa menghasilkan 500 potong pakaian dalam satu bulan. Harga busana Rasyida Alam bervariasi, mulai dari Rp 200 ribu hingga Rp 1,5 juta. Rasyida Alam kini memiliki lima gerai di Surabaya. Omzetnya mencapai Rp 200 juta per bulan.
Selain dari pameran ke pameran baik dalam maupun luar negeri, Santi memasarkan produknya melalui media sosial. Untuk pasar luar negeri, Cina terbilang bagus. ''Zaman sekarang nggak perlu toko banyak, lewat online saja luar biasa,'' kata Santi.
Bagi Santi, untuk juga tidak melulu dari hasil jualan. Membayar aneka tagihan tepat waktu menghindarkan dari ketidakefisienan denda.
Terhadap karyawan, Santi menganggap mereka sebagai keluarga. Sebagian keuntungan ia sisihkan untuk kebermanfaatan karyawan dengan memberangkatkan haji, minimal satu orang setiap tahun.