Ahad 17 Dec 2017 02:00 WIB
Seputar Kuil Sulaiman (2)

Mitos Membangun Kuil Ketiga

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agus Yulianto
Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Foto: muhammad subarkah
Masjidil Aqsa di Yerusalem.

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak awal abad ke-20, kalangan ultranasionalis atau ortodoks Yahudi mengusung ideologi mesianisme. Hal ini dipaparkan Gershom Gorenberg di dalam bukunya, The End of Days: Fundamentalism and the Struggle for the Temple Mount. Menurut jurnalis tersebut, kalangan ini menilai Israel berdiri untuk mewujudkan nubuat Kerajaan Yahudi Ketiga. Mereka bahkan mengklaim tahu rencana Tuhan sehingga merasa berhak untuk menghalalkan segala cara, termasuk penjajahan atas Palestina.

Sebagai contoh, pada pertengahan 1980-an, sekelompok ekstremis dari kalangan mereka melakukan aksi terorisme terhadap warga Palestina. Mereka juga berencana menghancurkan Qubbat ash-Shakhrah, meskipun akhirnya gagal. Sebab, bagi mereka, lokasi pendirian Kuil Ketiga tidak lain adalah kawasan yang di atasnya kini berdiri Qubbat ash-Shakhrah dan Masjid al-Aqsha. Dengan perkataan lain, mereka memandang unsur Islam harus enyah dari Yerusalem.

Pergerakan kaum ultranasionalis dan ortodoks Yahudi ini sudah berlangsung jauh sebelum Israel berdiri. Pada 1940, Lohamei Herut Israel (Lehi) terbentuk. Organisasi paramiliter ini secara harfiah berarti Pejuang untuk Kebebasan Israel. Pada faktanya, Lehi adalah sempalan grup bersenjata, Irgun, yang semakin radikal melawan Inggris Raya serta mendukung fasisme Italia dan nazisme Jerman semasa Perang Dunia II.

Tujuannya adalah merebut Yerusalem dengan jalan kekerasan. Israel Eldad (meninggal 1996), seorang yang percaya nubuat Negara Yahudi, merupakan perumus ideologi Lehi. Dalam sebuah edisi koran The Underground, Lehi membuat pernyataan resmi, antara lain, bahwa membangun Kuil Ketiga adalah simbol kebangkitan era Kerajaan Ketiga. Kelak, salah satu pimpinan Lehi menduduki jabatan perdana menteri Israel, Yitzhak Shamir (meninggal 2012).

Dengan mengklaim diri membawa suara Tuhan, kalangan Yahudi garis keras ini sesungguhnya tidak menginginkan hadirnya kedamaian dan keberagaman di Yerusalem. Sama sekali bertolak belakang, khususnya, dengan visi Khalifah Umar dan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Dan, tendensi kalangan tersebut kian menemukan kesempatan pada era kepemimpinan perdana menteri Israel saat ini, Benjamin Netanyahu.

Mengutip analisis Allison Kaplan Sommer dari media Haaretz, 25 Juni 2017, sejak awal pemerintahannya Netanyahu mengandalkan simpati dari kalangan ultra-ortodoks Yahudi, khususnya kelompok Haredi. Beberapa kebijakan Netanyahu sejak 2015, menurut Sommer, kian memupuskan visi rakyat yang menghendaki Israel menjadi negara yang merayakan keberagaman dan kedamaian.

Rentannya Yerusalem

Pada 21 Agustus 1969, umat Islam sedunia marah. Penyebabnya tidak lain ulah seorang Kristen fanatik asal Australia, Denis Michael Rohan, yang membakar suatu bagian Masjid al-Aqsha di Kota Tua Yerusalem. Insiden ini tidak sekadar mempersoalkan pelaku yang diduga sakit jiwa itu. Bagaikan gunung es, endapan masalah yang sebenarnya adalah fakta betapa rentannya Yerusalem dari ancaman para pembenci Islam sejak pertengahan abad ke-20.

Yerusalem Timur dicaplok militer Israel sejak 28 Juni 1967. Itu setelah kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari melawan tentara Zionis. Sampai saat ini, Yerusalem tidak lepas dari bayang-bayang prahara. Berulang kali aparat militer Israel mengganggu kedamaian di lokasi kiblat pertama umat Islam itu. Setiap kecaman dari dunia internasional dijawab Israel dengan kepongahan. Israel bersikap jumawa antara lain karena merasa dilindungi salah satu negara adidaya, Amerika Serikat (AS).

Ulah terbaru juga dilakukan presiden AS ke-45, Donald Trump. Seolah tidak belajar dari pembakaran Masjid al-Aqsa 48 tahun silam, politikus Partai Republik itu mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Trump berdalih hanya melaksanakan regulasi Jerusalem Embassy Act, yang dibuat pada 1995 silam. Artinya, baru kali ini sejak era Bill Clinton hingga Barack Obama seorang presiden AS lancang memindahkan kedubes AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem. Aturan ini sarat kontroversi karena mengabaikan resolusi PBB mengenai status internasional kota tersebut.

Kali ini, kecaman tidak hanya datang dari Dunia Islam, melainkan juga negara-negara Barat yang menjadi sekutu AS. Hanya Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan para pendukungnya yang bersorak gembira. Bagi Palestina dan Dunia Islam pada umumnya, Yerusalem merupakan ibu kota Palestina di masa depan. Pihak-pihak non-Muslim yang berseberangan dengan Trump, semisal Uni Eropa, menginginkan jalan tengah.

Perundingan damai harus dilakukan sebelum menentukan status permanen Yerusalem. Palestina pun tidak jarang menyetujui langkah ini. Namun, pengakuan sepihak AS itu kemudian memupus harapan terwujudnya perundingan damai solusi dua-negara, Palestina dan Israel, sebagai negara yang sama-sama berdaulat.

Ada pernyataan menarik dari Netanyahu dalam lawatannya ke Paris, Prancis, Ahad (10/12) lalu. Kunjungan ini terlaksana hanya beberapa hari setelah pengumuman Trump soal Yerusalem. Dalam jumpa pers, perdana menteri Israel empat periode itu mengklaim, Yerusalem telah menjadi ibu kota Israel tiga ribu tahun lamanya. Di satu sisi, Netanyahu sangat mengherankan karena pada faktanya penjajahan Israel atas Palestina baru dideklarasikan pada 1948. Namun, di sisi lain klaimnya ini masuk akal bila dihubungkan dengan watak ideologi Zionisme.

Sejarawan Prancis, Roger Garaudy (1913-2012), menjelaskan di dalam bukunya, The Case of Israel, genealogi ideologi Zionisme sehubungan dengan klaim kekuasaan atas Yerusalem. Sebelumnya, Garaudy menegaskan perbedaan antara zionisme sebelum dan sesudah gerakan yang diinisiasi Theodor Herzl (meninggal 1904). Sejak berabad-abad lamanya, para mistikus Yahudi menyakini adanya harapan besar tentang Juru Selamat pada akhir zaman di Bukit Zion, Yerusalem. Zionisme keagamaan ini memunculkan suatu tradisi ziarah ke Yerusalem tanpa berintensi untuk menduduki kota suci tersebut.

Namun, Herzl menyusun suatu ideologi politik yang mengatasnamakan kerinduan zionisme keagamaan akan datangnya Juru Selamat. Sejak 1882, mantan jurnalis itu telah menyebarkan gagasannya di Wina, Austria, serta kepada para tokoh Yahudi di Eropa. Empat belas tahun kemudian, dia menerbitkan buku Der Judenstaat, yang menjadi rujukan ideologis dalam Kongres Zionis Sedunia yang pertama di Basel, Swiss, pada 1897. Menurut Garaudy, Zionisme gagasan Herzl ini sama sekali berbeda daripada kerinduan mistikus Yahudi. Sebab, ideologi ini menegaskan perlunya pendirian Negara Yahudi di atas sebuah daerah kosong, yakni Palestina yang berpusat pada Yerusalem.

Dua hal kunci dapat ditarik dari gagasan Herzl. Pertama, nasionalisme yang anti-keberagaman. Herzl membangkitkan kesadaran ultra-nasionalis kaum Yahudi yang hidup tersebar di penjur dunia. Baginya, mereka hidup dalam ketidakpastian karena tidak punya tanah air. Herzl juga menolak asimilasi Yahudi dengan masyarakat tempatan (non-Yahudi) dan lebih menyukai gagasan Negara Yahudi.

Kedua, kolonialisme. Herzl memandang tanah Yerusalem dan sekitarnya sebagai daerah yang kosong, meskipun pada faktanya orang-orang Palestina telah lama menghuni daerah tersebut secara legal. Pandangan ini merupakan ciri khas penjajahan yang melihat masyarakat tempatan sebagai bukan-manusia sehingga pantas diusir. Dengan demikian, ucapan Netanyahu di Paris itu merupakan klaim seorang zionis pengikut tulen Herzl. Begitu pula dengan para pendukung dan penajanya, termasuk rezim AS kini di bawah Donald Trump.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement